Sunday 28 April 2013


Proposal tentang Autis ini menggambarkan pola komunikasi yang terjadi didalam dan diluar sekolah, bagi anda yang yang ingin tau bagaimana tindak kehidupan dalam bersosialisasi si Autis. Dibawah ini ada contoh proposal bagi anda yang ingin membacanya.





BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Anak-anak yang menderita autism tampil seolah-olah mereka terbelenggu oleh pikiran mereka sendiri, sebab mereka tidak dapat mempelajari bahasa, atau keterampilan sosial yang dibutuhkan dilingkungannya. Anak – anak autis pada tahun ke dua dari kehidupan mereka biasanya kehilangan kemampuan untuk berinteraksi dengan orang-orang dilingkungannya dan tidak berbicara, atau menggunakan bahasa, walaupun banyak diantara mereka mempunyai intelejensi yang normal. “Anak Autis lebih suka menyendiri dan memiliki kegemaran dengan satu benda”. (Autisme pada anak: Dr.dr.Y.Handojo, MPH). Penderita autis disebabkan oleh penyakit atau luka didaerah – daerah tertentu diotak (perkembangan otak tidak normal), polusi lingkungan oleh timbal, alumunium dan air raksa, disfungsi imunulogi, gangguan masa kehamilan serta abnormalitas sistem gastrointernal (pencernaan), namun secara umum belum ada kesepakan internasional.
Keadaan anak – anak yang mengalami gangguan autis saat ini dimasyarakat kelompok menengah kebawah sangat memprihatinkan. Selain itu fenomena saat ini banyak orang tua yang memiliki anak yang mengalami gangguan autis namun tidak menyadari bahwa anaknya mengalami gangguan autis. Menurut leo kanner (1943), istilah autism berasal dari kata “autos” yang berarti diri sendiri dan “isme” yang berarti suatu aliran, autis berarti suatu paham yang tertarik hanya pada dunianya sendiri. Autis juga berarti suatu keadaan dimana seseorang anak berbuat semaunya sendiri baik cara berfikir maupun berprilaku, kedaan ini biasanya terjadi sejak usia masih balita dan biasanya terjadi sekitar usia 2 – 3 tahun. Dimana biasanya pada usia tersebut anak sudah mulai belajar untuk bicara, tapi pada anak yang mengalami gannguan autis mengalami keterlambatan dalam hal interaksi sosial, masalah dalam bahasa yang digunakan dalam komunikasi sosial dan permainan simbolik atau imajinatif.
Jika suatu keluarga memiliki anak yang mengaami gangguan autis seharusnya keluarga tersebut sesegera mungkin menangani gangguan autis tersebut sedini mungkin. “Kurang nya kesadaran dan pengetahuan orang tua akan apa yang sedang berkembang pada seorang anak”. (Autisme pada anak : DR. Dr. Y. Handojo, MPH). Orang tua perlu mencurigai tanda – tanda jika terjadi keterlambatan dalam hal berkomunikasi dan gangguan dalam berinteraksi pada anak mereka, karena jika tidak ditangani secepatnya gangguan tersebut bisa mengakibatkan kesulitan berkomunikasi dalam melakukan kegiatan apapun. Dan, jika tidak dilakukan tindakan secepatnya dihawatirkan bisa mengganggu anak tersebut nantinya dalam hal pendidikan, melihat resiko ini dinilai bahwa penanganan autis harus diutamakan. Kodisi ideal mengenai gangguan autis perlu diketahui dan dimengerti seluruh masyarakat, tanpa kecuali masyarakat menengah kebawah. Selain mengetahui gejala-gejala dari gangguan autis sendiri, mereka pun sebagai orang tua bisa mengetahui cara penanganannya dan cara mendidik anak-anak autis sendiri selain itu yang paling penting adalah tidak ada salah perlakuan, seperti perlakuan seolah – olah anak autis mengalami gangguan kejiwaan, sehingga diperlakukan tidak layak.
Informasi saat ini mengenai autis dimasyarakat masih belum banyak dan belum mencakup lapisan masyarakat, bahkan banyak yang tidak mengerti apa itu gangguan autis, informasi di masyarakat mengenai gangguan autis hanya diketahui golongan masyarakat menengah ke atas. Sementara masyarakat golongan menengah ke bawah masih banyak yang tidak mengerti gejala – gejala dari gangguan autis dan cara penanggulangannya. Banyak orangtua yang menganggap keterlambatan berkomunikasi dan interaksi yang terjadi pada anaknya tersebut adalah hal yang wajar atau tidak menganggap gangguan autis yang terjadi pada anak mereka merupakan gejala gangguan mental atau gangguan jiwa. Sehingga anak – anak yang mengalami gangguan autis ini diperlakukan tidak semestinya dengan kondisi yang mengkhawatirkan dan ini dapat memperburuk keadaan anak tersebut karena semakin terkucilkan bahkan dilingkugan keluarganya sendiri. Maka dari itu media informasi yang ada di masyarakat mengenai gangguan autis perlu dibuat lebih banyak sehingga nantinya anak tersebut bisa kembali hidup normal, dapat mengenyam pendidikan, mampu hidup mandiri, berkomunikasi dan berinteraksi dengan sekitarnya.
Dalam Pendidikan Luar Biasa kita banyak mengenal macam – macam Anak Berkebutuhan Khusus. Salah satunya anak Autis. Anak autis juga merupakan pribadi individu yang harus diberi pendidikan.
Permasalahan yang dilapangan terkadang setiap orang tidak mengetahui tentang anak autis tersebut. Oleh kerena itu kita harus kaji lebih dalam tentang anak autis. Dalam pengkajian tersebut kita butuh banyak informasi mengenai siapa anak autis, penyebabnya dan lainnya. Dengan adanya bantuan baik itu pendidikan secara umum, pendidikan khusus, maupun pendidikan luar biasa. Dalam masyarakat nantinya anak – anak tersebut dapat lebih mandiri dan anak – anak tersebut dapat mengembangkan potensi yang ada dan dimilikinya yang selama ini terpendam karena ia belum bisa mandiri.
Anak autis adalah kondisi anak yang mengalami gangguan perkembangan fungsi otak yang mencakup bidang sosial, komunikasi verbal dan non-verbal, imajinasi, fleksibilitas, kognisidanatensi. Anak autis kurang dalam merespon dari lingkungan sebagaimana mestinya dan memperlihatkan kurangnya kemampuan komunikasi dan sering merespon lingkungan dengan cara yang unik. Penyandang autis dalam berkomunikasi dengan guru dan teman sesama autis di sekolah menggunakan dua jenis komunikasi, yaitu komunikasi satu arah dan komunikasi dua arah. Sedangkan ketika berada di luar sekolah penyandang autis hanya menggunakan pola komunikasi dua arah dengan orang tuanya. Komunikasi yang digunakan anak autis sangatlah unik karena berbeda dengan anak normal pada umumnya. Pola komunikasi yang digunakan anak autis dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan teman sesama autis, guru dan orang tua tergantung pada tingkat kemapuan dan spektrum autis yang dimiliki setiap anak. Autisme adalah gangguan pervasif yang mencakup gangguan – gangguan dalam komunikasi verbal dan non-verbal, interaksi sosial, perilaku dan emosi (Sugiarto,dkk,2004). Kemampuan anak autis tidak dpat diketahui secar langsung karena anak autis memiliki kemampuan tinggi dalam bidang tertentu.
Anak penyandang autis kesulitan dalam merespon rangsangan, tidak memiliki empati dan tidak tahu apa reaksi orang lain atas perbuatannya. Pemahaman anak penyandang autis sangat kurang,  sehingga apa yang di baca sulit untuk dipahami,  anak autis lebih mudah belajar memahami melalui media gambar-gambar.
Selain itu penyandang autis sangat menyukai permainan sehingga pendekatan bermain sambil belajar dilakukan  dalam rangka meningkatkan konsentrasi anak autis agar dapat mengikuti pembelajaran. Sebab kemampuan konsentrasi anak autis berbeda dengan anak berkebutuhan khusus lainnya tandanya kontak mata sangat kurang, ekpresi wajah kurang hidup, kurang mampu menjalin hubungan sosial dan emosional timbal balik.
Anak – anak penyandang autis mengalami kesulitan berbahasa sehingga sulit berkomunikasi serta gangguan interaksi sosial dan gangguan perilaku bermain. Anak – anak yang mengalami gangguan seperti ini harus tetap diberikan pendidikan untuk memperbaiki kualitas hidup mereka. Dan salah satu yang memberikan pelayanan untuk anak-anak penyandang autis adalah sekolah luar biasa (SLB). Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Dalam strategi komunikasi interpersonal aktif pengajar melakukan serangkaian pendekatan pada orang-orang terdekat murid untuk mendapat informasi tentang kondisi murid dan bagaimana kepribadian murid sehari – harinya. Pola pasif, pengajar melakukan pengamatan atau observasi pada saat murid beraktivitas baik di dalam maupun diluar kelas untuk mengetahui sejauh mana perkembangan murid. Pola interaktif pengajar berinteraksi dengan murid secara langsung, mengajarinya secara personal dan pengajar empati terhadap murid. Dalam mengajar mempergunakan pola komunikasi verbal dan non verbal. Saat mengajar, pengajar menggunakan bahasa yang digunakan sehari – hari dalam menyampaikan pesan. Pengajar harus menggunakan suara yang jelas bahkan perlu pengajar melakukan pengulangan kata. Media yang dipergunakan pengajar adalah papan tulis, buku, pensil, bolpoint, puzzle dan logiko. Untuk menunjang komunikasi verbalnya pengajar selalu mempergunakan isyarat – isyarat tertentu.
Dalam mengajar baik itu gerakan tangan, kontak mata, ekspresi wajah dan tentunya alat – alat peraga untuk menunjang keberhasilan pendidikan.
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah. Semakin meningkatnya anak yang menderita gangguan autis pada saat ini masyarakat. Informasi yang diterima mereka sangat sedikit bahkan bisa jadi tidak mengetahuinya sama sekali.
1.     Bagaimana Pola komunikasi untuk pembelajaran anak autis dalam menerima maupun menyampaikan pesan ?
2.     Bagaimana Pola Pembelajaran yang efektif untuk anak autis ?
3.     Bagaimana pola komunikasi anak autis dengaan teman sejawat ?
4.     Bagaimana pembelajaran orang tua dalam mendidik anak autis ?
5.     Bagaimana keberadaan anak autis di tengah masyarakat ?
1.3.Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari penelitian ini adalah agar masyarakat lebih mengerti gejala – gejala awal dari gangguan autis dan tindakan apa saja yang harus diambil. Sehingga nantinya tidak salah dan memperburuk yang berpengaruh bagi perkembangan yang lebih lanjut bagi anak yang menderita autis itu sendiri.
Tujuan Penelitian
1.     Untuk mengetahui pola perkembangan anak autis dalam menyampaikan dan menerima pesan.
2.     Untuk mengetahui keberadaan anak autis di tengah mesyarakat.
Kegunaan Penelitian
1.     Kegunaan Teoritis
Untuk menambah wawasan dan pengetahuan peneliti didalam melihat pola komuikasi anak autis didalam maupun diluar sekolah.
2.     Kegunaan Praktis
Data yang diperoleh dapat menjadi acuan bagi para guru dan orangtua anak autis.
Membantu memberikan penjelasan mengenai gangguan autis kepada seluruh masyarakat.
Memberikan pengetahuan gejala – gejala awal dari gangguan autis.
Memberikan pengetahuan penanganan dan penanggulangan yang bisa dilakukan oleh orangtua.
BAB II
2.1.  Kajian Teori
Teori Komunikasi Visual Untuk Anak Autis
Teori belajar dan desain pembelajaran dengan menciptakan model – model akan bagaimana pebelajar menerima, berproses, dan memanipulasi informasi. Penganut Kognitivis melihat dengan cara yang berbeda akan pola – pola belajar yang telah terbiasa. Contohnya, menciptakan suatu kemampuan yang di sebut dengan memori jangka pendek dan memori jangka panjang. Informasi yang baru disimpan oleh memori jangka pendek, dimana informasi itu dilatih sampai dapat dikatakan siap disimpan dalam memori jangka panjang. Pola komunikasi makna media dalam bahasa latin adalah ”antara”, istilah ini mengacu pada apapun yang membawa informasi antara sumber dan penerima. Contohnya, meliputi video, televisi, diagram, material cetak, komputer, dan instruktur. Ini semua dianggap media pembelajaran ketika membawa pesan dengan tujuan pembelajaran. Tujuan dari media adalah untuk memudahkan komunikasi. Sejalan dengan adanya sekolah dan kampus berbasis media dan jaringan koputer internet, dunia menjadi kelas tersendiri bagi pembela anak kecil belajar.
2.1.1 Pengertian Autis
Autisme berasal dari kata “Autos” yang berarti diri sendiri dan “isme” yang berarti suatu aliran. Berarti autisme adalah suatu paham yang tertarik hanya pada dunianya sendiri. Autis adalah suatu gangguan perkembangan yang komplek menyangkut komunikasi, interaksi sosial dan aktifitas imajinasi, gangguan sensoris, pola bermain, perilaku, emosi. Gejalanya mulai tampak sebelum anak berusia 3 tahun, bahkan pada autis infantil gejalanya sudah ada sejak lahir. Penyebab autis menurut beberapa teori adalah faktor genetika, virus seperti rubella, herpes, toxo jamur, nutrisi yang buruk, keracunan makanan. Pada kehamilan dapat menghambat pertumbuhan sel otak yang dapat menyebabkan fungsi otak bayi yang dikandung terganggu terutama fungsi pemahaman, komunikasi dan interaksi.
Leo Kanner (Handojo, 2003) autisme merupakan suatu jenis gangguan perkembangan pada anak yang cenderung menyendiri. Chaplin (2000) mengatakan :
(1) cara berpikir yang dikendalikan oleh kebutuhan personal atau diri sendiri.
(2) menanggapi dunia berdasarkan penglihatan dan harapan sendiri.
(3) keyakinan ekstrim dengan fikiran fantasi sendiri.
American Psych : autisme adalah ganguan perkembangan yang terjadi pada anak yang mengalami kondisi menutup diri. Gangguan ini mengakibatkan anak mengalami keterbatasan dari segi komunikasi, interaksi sosial, dan perilaku “Sumber dari Pedoman Pelayanan Pendidikan Bagi Anak Austistik”. (American Psychiatic Association 2000).
Autisme adalah suatu kondisi yang mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat masa balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal. Hal ini mngakibatkan anak tersebut terisolasi dari manusia lain dan masih dalam dunia repetitive, aktivitas dan minat yang obsesif.
(Baron-Cohen, 1993) Jadi anak autisme merupakan anak yang mengalami gangguan perkembangan yang sangat kompleks yang dapat diketahui sejak umur sebelum 3 tahun mencakup bidang komunikasi, interaksi sosial serta perilakunya.
Ditinjau dari segi pendidikan : anak autis adalah anak yang mengalami gangguan perkembangan komunikasi, sosial, perilaku pada anak sesuai dengan kriteria. sehingga anak ini memerlukan penanganan atau layanan pendidikan secara khus sejak dini.
Ditinjau dari segi medis : anak autis adalah anak yang mengalami gangguan atau kelainan otak yang menyebabkan gangguan perkembangan komunikasi, sosial, perilaku, sesuai dengan kriteria sehingga anak memerlukan penanganan atau terapi secara klinis.
Ditinjau dari segi psikologi : anak autis adalah anak yang mengalami gangguan perkembangan yang berat bisa diketahui sebelum usia tiga tahun, aspek komunikasi sosial, perilaku, bahasa sehingga anak perlu adanya penanganan secara psikologis. 
Ditinjau dari segi sosial : anak autis adalah anak yang mengalami gangguan perkembangan dari beberapa aspek komunikasi, bahasa, interasi sosial, sehingga anak ini memerlukan bimbingan keterampilan sosial agar dapat menyesuaikan dengan lingkungannya.
Jadi Anak Autisme merupakan salah satu gangguan perkembangan fungsi otak yang bersifat pervasive (inco) yaitu meliputi gangguan kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi, dan gangguan interaksi sosial, sehingga ia mempunyai dunianya sendiri.
Anak Autis adalah adanya enam gejala atau gangguan yaitu :
(1)  Dalam bidang interaksi sosial.
Tidak tertarik untuk bermain bersama teman, lebih suka menyendiri, tidak ada atau sedikit kontak mata atau menghindari tatapan, senang menarik – narik tangan orang lain untuk melakukan apa yang diinginkan.
(2)  Komunikasi.Perkembangan bahasa lambat, senang meniru, anak tampak seperti tuli, sulit berbicara, kata yang digunakan tidak sesuai artinya, berbicara tanpa arti berulang – ulang, bicara tidak dipakai untuk alat komunikasi.
(3)  Perilaku dan Pola Bermain.
Tidak bermain seperti anak – anak pada umumnya, senang akan benda – benda yang berputar, tidak bermain sesuai fungsi mainan, tidak kreatif, tidak imajinatif, dapat sangat lekat dengan benda tertentu.
(4)  Gangguan sensoris.
Bila mendengar suara keras langsung menutup telinga, sering menggunakan indera pencium dan perasaannya, dapat sangat sensitif terhadap sentuhan, tidak sensitif terhadap rasa sakit rasa takut.
(5)  Perkembangan terlambat atau tidak normal.
Tidak sesuai seperti anak normal, keterampilan sosial, komunikasi dan kognisi, dapat mempunyai perkembangan yang normal pada awalnya, kemudian menurun bahkan sirna.
(6)  Gejala muncul
Gejala diatas dapat dimulai tampak sejak lahir atau saat masih kecil, pada beberapa anak sekitar umur 5 sampai 6 tahun gejala tampak kurang.
5.1.2.     Klasifikasi Anak Autisme
Menurut Yatim (2002) klasifikasi anak autis dikelompokkan menjadi tiga, antar lain :
(1)    Autisme Persepsi : dianggap autisme yang asli karena kelainan sudah timbul sebelum lahir. Ketidakmapuan anak berbahasa termasuk pada penyimpangan reaksi terhadap rangsangan dari luar, begitu juga ketidakmampuan anak bekerjasama dengan orang lain, sehingga anak bersikap masa bodoh.
(2)    Autisme Reaksi : terjadi karena beberapa permasalahan yang menimbulkan kecemasan seperti orangtua meninggal, sakit berat, pindah rumah atau sekolah dan sebagainya. Autisme ini akan memumculkan gerakan – gerakan tertentu berulang – ulang disertai kejang – kejang.  Gejala ini muncul pada usia lebih besar 6 sampai 7 tahun sebelum anak memasuki tahapan berpikir logis.
(3)    Autisme yang timbul kemudian : terjadi setelah anak menginjak usia sekolah, dikarenakan kelainan jaringan otak yang terjadi setelah anak lahir. Hal ini akan mempersulit dalam hal pemberian pelatihan dan pelayanan pendidikan untuk mengubah perilakunya yang sudah melekat.
5.1.3.     Penyebab Autisme
Penyebab autis antara lain :
Terjadinya kelainan struktur sel otak yang disebabkan virus rubella, toxoplasma, herpes, jamur, pendarahan, keracunan makanan.
Faktor genetik (ada gen tertentu yang mengakibatkan kerusakan pada sistem limbic pusat emosional)
Faktor sensory interpretation errors
Sampai sekarang belum terdeteksi faktor yang menjadi penyebab tunggal timbulnya gangguan autisme. Namun demikian ada beberapa faktor yang di mungkinkan dapat menjadi penyebab timbulnya autisme :
(1)  Menurut Teori Psikososial
Beberapa ahli (Kanner dan Bruno Bettelhem) autisme dianggap sebagai akibat hubungan yang dingin, tidak akrab antara orang tua (ibu) dan anak. Demikian juga dikatakan, orang tua atau pengasuh yang emosional, kaku, obsesif, tidak hangat bahkan dingin dapat menyebabkan anak asuhnya menjadi autistik.
(2)  Teori Biologis
Faktor genetic : keluarga yang terdapat anak autistik memiliki resiko lebih tinggi dibanding populasi keluarga normal.
Pranatal, Natal dan Post Natal yaitu : pendarahan pada kehamilan awal, obat-obatan, tangis bayi terlambat, gangguan pernapasan, anemia.
Neuro anatomi yaitu: Gangguan atau disfungsi pada sel-sel otak selama dalam kandugan yang mungkin disebabkan terjadinya gangguan oksigenasi, perdarahan, atau influsi.
Struktur dan Biokimiawi yaitu : kelainan pada cerebellum dengan sel – sel Purkinje yang jumlahnya terlalu sedikit, padahal sel-sel purkinje mempunyai kandungan serotinin yang tinggi. Demikian juga kemungkinan tingginya kandungan dapomin atau opioid dalam darah.
(3)  Keracunan logam berat misalnya terjadi pada anak yang tinggal dekat tambanga batu bara dan sebagainya.
(4)  Gangguan pencernaan, pendengaran dan penglihatan.
Menurut data yang ada 60% anak autistik mempunyai sistem pencernaan kurang sempurna. Dan kemungkinan timbulnya gejala autistik karena adanya gangguan dalam pendengaran dan penglihatan.
2.1.4. Ciri – Ciri Anak Autis
Menurut American Psychiatric Association dalam buku Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder Fourth Edition Text Revision (DSM IV-TR, 2004), kriteria diagnostik untuk dari gangguan autistik adalah sebagai berikut :
A. Jumlah dari 6 (atau lebih) item dari 1, 2 dan 3, dengan setidaknya dua dari 1, dan satu dari masing-masing 2 dan 3:
(1) Kerusakan kualitatif dalam interaksi sosial, yang dimanifestasikan dengan setidak – tidaknya dua dari hal berikut :
(a) kerusakan yang dapat ditandai dari penggunaan beberapa perilaku non verbal seperti tatapan langsung, ekspresi wajah, postur tubuh dan gestur untuk mengatur interaksi sosial.
(b) kegagalan untuk mengembangkan hubungan teman sebaya yang tepat menurut tahap perkembangan.
(c) kekurangan dalam mencoba secara spontanitas untuk berbagi kesenangan, ketertarikan atau pencapaian dengan orang lain (seperti dengan kurangnya menunjukkan atau membawa objek ketertarikan).
(d) kekurangan dalam timbal balik sosial atau emosional.
(2)  Kerusakan kualitatif dalam komunikasi yang dimanifestasikan pada
      setidak-tidaknya satu dari hal berikut :
(a) penundaan dalam atau kekurangan penuh pada perkembangan bahasa (tidak disertai dengan usaha untuk menggantinya melalui beragam alternatif dari komunikasi, seperti gestur atau mimik).
(b) pada individu dengan bicara yang cukup, kerusakan ditandai dengan kemampuan untuk memulai atau mempertahankan percakapan dengan orang lain.
(c) penggunaan bahasa yang berulang – ulang dan berbentuk tetap atau bahasa yang aneh.
(d) pekurangan divariasikan, dengan permainan berpura-pura yang spontan atau permainan imitasi sosial yang sesuai dengan tahap perkembangan.
(3) Dibatasinya pola-pola perilaku yang berulang-ulang dan berbentuk tetap, ketertarikan dan aktivitas, yang dimanifestasikan pada setidak-tidaknya satu dari hal berikut:
(a) meliputi preokupasi dengan satu atau lebih pola ketertarikan yang berbentuk tetap dan terhalang, yang intensitas atau fokusnya abnormal.
(b) ketidakfleksibilitasan pada rutinitas non fungsional atau ritual yang spesifik.
(c) sikap motorik yang berbentuk tetap dan berulang (tepukan atau mengepakkan tangan dan jari, atau pergerakan yang kompleks dari keseluruhan tubuh).
(d)   preokupasi yang tetap dengan bagian dari objek.
B. Fungsi yang tertunda atau abnormal setidak-tidaknya dalam 1 dari area berikut, dengan permulaan terjadi pada usia 3 tahun :
(1) interaksi sosial
(2) bahasa yang digunakan dalam komunikasi sosial atau
(3) permainan simbolik atau imajinatif.
C. Gangguan tidak lebih baik bila dimasukkan dalam Rett’s Disorder atau Childhood Disintegrative Disorder.
Menurut presentase gangguan autistik lebih banyak dijumpai pada pria dibanding wanita dengan ratio 5 : 1. Dalam pengklasifikasian gangguan autisme untuk tujuan ilmiah dapat digolongkan atas autisme ringan, sedang dan berat. Namun pengklasifikasian ini jarang dikemukakan pada orangtua karena diperkirakan akan mempengaruhi sikap dan intervensi yang dilakukan. Padahal untuk penanganan dan intervensi antara autisme ringan, sedang dan berat tidak berbeda. Penanganan dan intervensinya harus intensif dan terpadu sehingga memberikan hasil yang optimal. Orangtua harus memberikan perhatian yang lebih bagi anak penyandang autis. Selain itu penerimaan dan kasih sayang merupakan hal yang terpenting dalam membimbing dan membesarkan anak autis (Yusuf, 2003).

5.2.     Hipotesis
Adapun rumusan hipotesis dalam penelitian ini :
Hipotesis sebagai jawaban sementara dari penelitian ini adalah :
1.   Tidak terdapat hubungan positif dan signifikan antara pola komunikasi anak autis dengan kompetensi sosial pada orangtua yang memiliki anak autis.
2.   Terdapat hubungan positif dan signifikan antara pola komunikasi anak autis dengan kompetensi sosial pada orangtua yang memiliki anak autis.

BAB III
3.1. Penelitian yang digunakan
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Penyandang autis dalam berkomunikasi dengan guru dan teman sesama autis di sekolah menggunakan dua jenis komunikasi, yaitu komunikasi satu arah dan komunikasi dua arah.
Sedangkan ketika berada di luar sekolah penyandang autis hanya menggunakan pola komunikasi dua arah dengan orang tuanya. Komunikasi yang digunakan anak autis sangatlah unik karena berbeda dengan anak normal pada umumnya. Pola komunikasi yang digunakan anak autis dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan teman sesama autis, guru dan orang tua tergantung pada tingkat kemapuan dan spektrum autis yang dimiliki setiap anak.
3.2. Operasionalisasi Konsep
3.2.1. Pengertian Komunikasi
Istilah komunikasi sering diartikan sebagai kemampuan bicara, padahal komunikasi lebih luas dibandingkan dengan bahasa dan bicara. Oleh karena itu agar komunikasi tidak diartikan secara sempit, perlu kiranya dijelaskan tentang pengertian komunikasi. Komunikasi secara terminoligis berarti penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang pada orang lain sebagai konsekuensi dari hubungan sosial (Sunardi dan Sunaryo, 2006:174). Pengertian komunikasi disini lebih menekankan komunikasi sebagai alat hubungan sosial sebagai konsekuensi dari manusia sebagai makhluk sosial. Sehingga untuk menjalankan perannya sebagai makhluk sosial manusia harus berkomunikasi.
Menurut Quill (1995) dalam Gardner, et al. (1999:2) menyatakan bahwa komunikasi merupakan proses yang dinamis di dalamya terjadi proses enkoding dari penyampai pesan dan dekoding dari penerima pesan, terjadi pertukaran iformasi, penyampaian perasaan (melibatkan emosi), ada tujuan – tujuan tertentu serta ada penyampaian ide. Dari pengertian komunikasi tersebut dapat dikatakan bahwa komunikasi itu selalu melibatkan dua individu atau lebih dan yang terpenting adalah keinginan, maksud, pesan atau tujuan pengirim pesan dapat diterima dan dipahami oleh penerima pesan. Komunikasi menjadi aspek penting untuk mengekspresikan perasaan, gagasan, keinginan, dan kebutuhan – kebutuhan.
Untuk melakukan komunikasi ternyata dibutuhkan alat. Alat utama dalam komunikasi adalah bahasa (Jordan dan Powell, 2002:51). Berarti komunikasi itu melibatkan bahasa verbal maupun non verbal, mencakup lisan, tulisan, bahasa isyarat, bahasa tubuh, dan ekspresi wajah.
Dari pengertian komunikasi di atas ada tiga hal penting yang berkaitan dengan komunikasi, pertama, komunikasi harus melibatkan dua orang atau lebih, kedua, komunikasi merupakan pertukaran informasi yang bersifat dua arah, dan ketiga, mengandung pemahaman. Sebuah pengumunan yang dipasang di papan pengumuman bukan merupakan komunikasi. Tapi kalau pengumuman itu telah dibaca, dimengerti, dan ditanggapi, maka pengumuman itu bisa disebut komunikasi. Komunikasi dikatakan efektif hanya jika suatu gagasan dapat berpindah dari pemikian seseorang ke pemikiran orang lain (Moore, 1987:79).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa komunikasi adalah suatu proses dinamis yang menggunakan bahasa sebagai alat utamanya dalam rangka individu melakukan hubungan sosial dengan individu lainnya yang di dalamnya melibatkan ekspresi perasaan, penyampaian ide, keinginan, kebutuhan-kebutuhan, dan tujuan.
3.2.2. Jenis Komunikasi
Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya bahwa alat/media utama komunikasi adalah bahasa, sementara bahasa itu sendiri secara umum terbagi dua, yaitu bahasa verbal (lisan) dan non verbal (isyarat, gerak tubuh, ekspresi wajah, tulisan). Oleh karena itu komunikasi berlangsung tidak hanya dengan menggunakan kata-kata tetapi juga dengan bantuan tindakan, gerak isyarat, ekspresi wajah, gambar yang bermakna, dan tulisan. Berdasrkan hal tersebut maka jenis komunikasi itu ada dua, yaitu :
(1) Komunikasi verbal (lisan)
(2) Komunikasi non verbal (isyarat, gerak tubuh, ekspresi wajah, tulisan)
3.2.3. Perkembangan Komunikasi Pada Anak
(1) The own agenda stage
Pada tahap ini anak lebih suka bemain sendiri dan tampaknya tidak tertarik pada orang-orang di sekitarnya. Anak belum tahu bahwa dengan komunikasi ia dapat mempengaruhi orang lain. Untuk mengetahui keinginannya, kita harus memperhatikan gerak tubuh dan ekspresi wajah anak, seringkali anak mengambil sendiri benda-benda yang diinginkannya.
(2) The requester stage
Anak mulai menyadari bahwa tingkah lakunya dapat mempengaruhi orang di sekitarnya, bila menginginkan sesuatu, anak menarik tangan kita dan mengarahkannya ke benda yang diinginkan. Sebagian anak telah mampu mengulangi kata-kata atau suara tetapi bukan untuk berkomunikasi melainkan untuk menenangkan dirinya. Anak juga mulai bisa mengikuti perintah sederhana tapi responnya belum konsisten.
(3)The early communication stage
Anak telah menyadari bahwa ia bisa menggunakan satu bentuk komunikasi tertentu secara knsisten pada situasi khusus. Namun demikian, inisiatif berkomunikasi masih terbatas pada pemenuhan kebutuhannya. Anak mulai memahami isyarat visual atau gambar komunikasi dan memahami kalimat – kalimat sederhana yang kita ucapkan. Bila terlihat perkembangan bahwa anak mulai memanggil nama, menunjuk sesuatu yang diinginkan, atau melakukan kontak mata untuk menarik perhatian, maka berarti anak sudah siap untukmelakukan komunikasi dua arah.
(4)The partner stage
Tahap ini merupakan fase yang paling efektif. Bila kemampuan bicara anak baik, ia akan mampu melakukan percakapan sederhana. Anak juga dapat diminta untuk menceritakan pengalamannya, keinginannya yang belum terpenuhi dan mengekspresikan perasaanya. Namun demikian, biasanya anak masih terpaku pada kalimat-kalimat yang telah dihapalkan dan sulit menemukan topik pembicaraan yang tepat pada situasi baru. Bagi anak-anak yang masih mengalami kesulitan untuk berbiara, komunikasi dapat dilakukan dengan menggunakan rangkaian gambar atau menyusun kartu-kartu bertulisan.
3.2.3. Hambatan-Hambatan Pada Anak Autis
Anak autis mengalami gangguan perkembangan yang kompleks sehingga mereka juga disebut mengalami gangguan pervasif. Peeters (2004:4) mengartikan pervasif yaitu menderita kerusakan jauh di dalam meliputi keseluruhan dirinya. Istilah pervasif juga dilandasi oleh gangguan perkembangan yang diperlihatkan oleh anak autis.
Gangguan-gangguan itu hampir meliputi seluruh aspek kehidupannya, antara lain komunikasi, interaksi sosial, gangguan dalam sensoris, pola bermain, perilaku khas, dan emosi (Riyanti, 2002:10, Peeters, 2004:5; Hidayat, 2006:2; Sunardi dan Sunaryo, 2006:193). Gangguan-gangguan tersebut jelas akan mengahambat perkembangan anak autis.
Di bawah ini dijelaskan hambatan atau gangguan-gangguan yang sering diperlihatkan oleh anak autis, diantaranya adalah:
3.2.4. Hambatan dalam komunikasi
(1)  Perkembangan bahasa lambat atau sama sekali tidak ada.
(2)  Anak tampak seperti tuli, sulit bicara, atau pernah bicara, tetapi kemudian sirna.
(3)  Kata – kata  yang digunakan tidak sesuai artinya.
(4)  Mengoceh tanpa arti berulang-ulang dengan bahasa yang tidak dapat dimengerti oleh orang lain.
(5)  Bicara tidak dipakai untuk alat berkomunikasi
(6)  Senang meniru atau membeo (echolalia)
(7)  Bila senang meniru, dapat hapal betul kata-kata atau nyanyian tapi tidak mengerti artinya.
(8)  Sebagian dari anak autis tidak bicara (non verbal) atau sedikit berbicara sampai usia dewasa.
(9)  Senang menarik-narik tangan orang lain untuk melakukan apa yang ia inginkan.
3.2.5. Hambatan dalam interaksi sosial
(1) Anak autis lebih senang menyendiri.
(2) Tidak ada atau sedikit kontak mata atau menghindari untuk bertatapan.
(3) Tidak tertarik untuk bermain bersama teman.
(4) Bila diajak bermain, ia tidak mau dan menjauh.
3.2.6. Gangguan dalam sensoris
(1)  Sangat sensitif terhadap sentuhan, seperti tidak suka dipeluk.
(2)  Bila mendengar suara keras langsung menutup telinga.
(3)  Senang mencium-cium, menjilat mainan atau benda-benda.
(4)  Tidak sensitif terhadap rasa sakit atau rasa takut.
3.2.7. Hambatan dalam pola bermain
(1) Tidak bermain seperti anak-anak pada umumnya.
(2) Tidak suka bermain dengan anak sebayanya.
(3) Tidak kreatif dan tidak imajinatif.
(4) Tidak bermain sesuai fungsinya.
(5)  Senang pada benda-benda yang berputar, seperti kipas angin, roda, dan lain-lain.
(6)  Dapat sangat lekat dengan benda-benda tertentu kemudian dipegang terus dan dibawa kemana-mana.
3.2.8. Gangguan perilaku khas
(1)  Dapat berperilaku berlebihan (hiperaktif) atau kekurangan (hipoaktif).
(2)  Memperlihatkan stimulasi diri, seperti bergoyang – goyang, mengepakkan tangan seperti burung, berputar-putar, mendekatkan pada pada layar TV, lari atau berjalan bolak-balik, melakukan gerakan yang berulang-ulang.
(3) Tidak suka pada perubahan.
(4) Dapat duduk benging dengan tatapan kosong.
3.2.9. Gangguan emosi
(1) Sering marah-marah tanpa alasan yang jelas, tertawa-tawa, menangis    tanpa alasan.
(2) Temper tantrum (mengamuk tak terkendali) jika dilarang atau dipenuhi keinginannya.
(3) Suka menyerang dan merusak dirinya sendiri.
(4) Tidak mempunyai empati dan tidak mengerti perasaan orang lain.
Hambatan – hambatan di atas tidak semuanya ada pada anak autis. Hambatan dapat beraneka ragam sehingga hambatan yang dimiliki seorang anak autis belum tentu sama dengan anak autis lainnya. Itulah yang menyebabkan tidak ada anak autis yang benar – benar sama dalam semua tingkah lakunya.
3.2.10. Perkembangan Komunikasi Anak Autis
Salah satu kesulitan yang dimiliki oleh anak autis adalah dalam hal komunikasi (Delphie, 2006:1). Oleh karena itu perkembangan komunikasi pada anak autis sangat berbeda, terutama pada anak-anak yang mengalami hambatan yang berat dalam penguasaan bahasa dan bicara.
Kesulitan dalam komunikasi ini dikarenakan anak autis mengalami gangguan dalam berbahasa (verbal dan non verbal), padahal bahasa merupakan media utama dalam komunikasi. Mereka sering kesulitan untuk mengkomunikasikan keinginannya baik secara verbal (lisan/bicara) maupun non verbal (isyarat/gerak tubuh dan tulisan).
Sebagian besar dari mereka dapat berbicara, menggunakan kalimat pendek dengan kosa kata sederhana namun kosa katanya terbatas dan bicaranya sulit dipahami. Karena kosa katanya terbatas maka banyak perkataan yang mereka ucapkan tidak dipahaminya. Mereka yang dapat berbicara senang meniru ucapan dan membeo (echolalia). Beberapa diantara mereka sering kali menunjukkan kebingungan akan kata ganti. Contoh, mereka tidak menggunakan kata saya dan kamu secara benar, atau tidak mengerti ketika lawan bicaranya beralih dari kamu menjadi saya atau sebaliknya (Riyanti, 2002:16).
Pada saat anak pada umumnya sudah mengetahui nama, mampu merespon terhadap ya dan tidak, mengerti konsep abstrak laki-laki – perempuan, dan mengikuti perintah-perintah sederhana. Sementara itu pada anak autis mungkin hanya echolalia terhadap apa yang dikatakan atau tidak bicara sama sekali.
Anak pada umumnya biasanya mulai mengoceh sekitar umur enam bulan. Ia mulai bicara dalam bentuk kata pada umur satu tahun dan merangkai dua atau tiga kata dalam satu kalimat sebelum delapan belas bulan. Sedangkan pada anak autis sebaliknya, ia tidak memiliki pola perkembangan bahasa. Kemampuan komunikasi mereka bervairasi, diantara mereka ada yang tidak pernah bicara, seperti anak pada umumnya sampai delapan belas bulan atau dua puluh bulan, kadang-kadang kemampuan bicara mereka hilang begitu saja.
Anak autis yang sulit berbicara, seringkali mengungkapkan diri atau keinginannya melalui perilaku. Memang untuk beberapa kasus anak autis yang ada yang sudah mampu menyampaikan keinginannya dengan cara menarik tangan orang yang didekatnya atau menunjuk ke suatu arah yang diinginkan, atau mungkin menjerit. Jika orangtua atau orang disekitarnya tidak memahami apa yang diinginkannya anak akan marah-marah, mengamuk dan mungkin tantrumnya akan muncul.
Siegel (1996:44) secara umum menggambarkan perkembangan komuniksi anak autis terbagi dalam dua bagian, yaitu :
(1)  Perkembangan komunikasi verbal, meliputi keterlambatan berbahasa bahkan ada diantara mereka yang kemampuan berbahasanya hilang, echolalia dan menggunakan bahasa yang aneh/tidak dimengerti, menggunakan bahasa sederhana (misalnya minta makan:”Makan, ya!”).
(2)  Perkembangan komunikasi non verbal, meliputi menggunakan gestur, gerak tubuh, mengungkapkan keinginan dengan ekspresi emosi (menjerit, marah-marah, menangis).
Dengan perkembangan komunikasi seperti telah disampaikan di atas jelaslah anak autis akan menghadapi berbagai kesulitan untuk mengungkapkan keinginannya dan dengan kemampuan komunikasi seperti demikian perlu adanya suatu cara yang dapat membantu mereka untuk berkomunikasi dengan lingkungannya.
3.2.11. Bentuk Layanan Pendidikan Anak Autisme
Pendidikan untuk anak autistik usia sekolah bisa dilakukan di berbagai penempatan. Berbagai model anatara lain :
(1)  Kelas transmisi
Kelas ini diperuntukkan bagi anak autistik yang telah diterapi memerlukan layanan khusus termasuk anak autistik yang telah diterapi secara terpadu atau struktur. Kelas transisi sedapat mungkin berada di sekolah reguler, sehingga pada saat tertentu anak dapat bersosialisasi dengan anak lain. Kelas transisi merupakan kelas persiapan dan pengenalan pengajaran dengan acuan kurikulum SD dengan dimodifikasi sesuai kebutuhan anak.
(2)  Prorgam pendidikan inklusi
Program ini dilaksanakan oleh sekolah reguler yang sudah siap memberikan layanan bagi anak autistik. Untuk dapat membuka program ini sekolah harus memenuhi persyaratan antara lain :
(a) Guru terkait telah siap menerima anak autistik.
(b)  Tersedia ruang khusus (resourse room) untuk penanganan individual.
(c) Tersedia guru pembimbing khusus dan guru pendamping.
(d)    Dalam satu kelas sebaiknya tidak lebih dari 2 (dua) anak autistik.
(3)  Program pendidikan Terpadu
Program Pendidikan Terpadu dilaksanakan disekolah reguler. Dalam kasus/waktu tertentu, anak-anak autistik dilayani di kelas khusus untuk remedial atau layanan lain yang diperlukan. Keberadaan anak autistik di kelas khusus bisa sebagian waktu atau sepanjang hari tergantung kemampuan anak.
(4)  Sekolah khusus Autis
Sekolah ini diperuntukkan khusus bagi anak autistik terutama yang tidak memungkinkan dapat mengikuti pendidikan di sekolah reguler. Anak di sekolah ini sangat sulit untuk dapat berkonsentrasi dengan adanya distraksi sekeliling mereka. Pendidikan di sekolah difokuskan pada program fungsional seperti bina diri, bakat, dan minat yang sesuai dengan potensi mereka.
(5)  Program sekolah di rumah
Program ini diperuntukkan bagi anak autistik yang tidak mampu mengikuti pendidikan di sekolah khusus karena keterbatasannya. Anak-anak autistik yang non verbal, retardasi mental atau mengalami gangguan serius motorik dan auditorinya dapat mengikuti program sekolah di rumah. Program dilaksanakan di rumah dengan mendatangkan guru pembimbing atau terapis atas kerjasama sekolah, orangtua dan masyarakat.
(6)  Panti rehabilitas autis
Anak autistik yang kemampuannya sangat rendah, gangguannya sangat parah dapat mengikuti program di panti (griya) rehabilitasi autistik. Program dipanti rehabilitasi lebih terfokus pada pengembangan :
(1)  Pengenalan diri.
(2)  Sensori motor dan persepsi.
(3)  Motorik kasar dan halus.
(4)  Kemampuan berbahasa dan komunikasi.
(5)  Bina diri, kemampuan sosial.
(6)  Ketrampilan kerja terbatas sesuai minat, bakat dan potensinya.
(7)  Dari beberapa model layanan pendidikan di atas yang sudah eksis di lapangan adalah Kelas transisi, sekolah khusus autistik dan panti rehabilitasi.
3.3. Populasi dan Sampel
3.3.1. Pengertian populasi
Populasi adalah seluruh data yang menjadi perhatian kita dalam suatu ruang lingkup dan waktu yang kita tentukan. Jadi populasi berhubungan dengan data, bukan manusianya. Kalau setiap manusia memberikan suatu data, maka banyaknya atau ukuran populasi akan sama dengan banyaknya manusia. Populasi memiliki parameter yakni besaran terukur yang menunjukkan ciri dan populasi itu. Diantara yang yang kita kenal besar - besaran : rata – rata, bentengan, rata – rata simpangan, variansi, simpangan baku sebagai parameter populasi. Parameter suatu populasi tertentu adalah tetap nilainya itu berubah, maka berubah pula populasinya.
Pengertian lain, menyebutkan populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang terdiri dari manusia, benda – benda, hewan, tumbuh – tumbuhan, gejala – gejala, nilai tes, atau peristiwa sebagai sumber data yang memiliki karakteristik tertentu di dalam suatu penelitian (Hadari Nawawi, 1983:141). Kaitannya dengan batasan tersebut, populasi dapat di bedakan berikut ini :
(1) Populasi terbatas atau populasi terhingga, yakni populasi yang memiliki batas kuantitatif secara jelas karena memiliki karakteristik yang terbatas.
(2) Populasi tak terbatas atau populasi tak terhingga, yakni populasi yang tidak dapat ditemukan batas – batas nya, sehingga tidak dapat dinyatakan dalam bentuk jumlah secara kuantitatif.
Selain itu, populasi dapat dibedakan kedalam hal berikut ini :
(1) Populasi teoretis (theoritical population), yakni sejumlah populasi yang batas – batas nya ditetapkan secara kualitatif.
(2) Populasi yang tersedia (accessible population), yakni populasi yang secara kuantitatif dapat dinyatakan dengan tegas.
Disamping itu persoalan populasi bagi suatu penelitian harus dibedakan kedalam sifat berikut ini :
(1) Populasi yang bersifat homogen, yakni populasi yang unsur – unsurnya memiliki sifat yang sama, sehingga tidak perlu dioersoalkan jumlahnya secara kuantitatif.
(2) Populasi yang bersifat heterogen, yakni populasi yang unsur – unsurnya memiliki sifat atau keadaan yang bervariasi, sehingga perlu ditetaokan batas – batasnya, baik secara kualitatif mauoun secara kuantitatif.
3.3.2. Pengertian Sampel
Sampel adalah sebagai bagian dari populasi, masalah sampel dalam suatu penelitian timbul disebabkan hal berikut ini :
(1) Penelitian bermaksud mereduksi objek penelitian sebagai akibat dari besarnya jumlah populasi, sehingga harus meneliti sebagian saja dari populasi.
(2) Penelitian bermaksud mengadakan generalisasi dari hasil – hasil kepenelitiannya, dalam arti mengenakan kesimpulan – kesimpulan kepada objek, gejala atau kejadian yang lebih luas (Sutrisno Hadi, 1980:70).
Adapun alasan – alasan penelitian dilakukan dengan mempergunakan sampel berikut :
(1) Ukuran populasi
Dalam hal populasi tak terbatas (tak terhingga) berupa parameter yang jumlahn ya tidak diketahui dengan pasti, pada dasarnya bersifat konseptual. Karena itu sama sekali tidak mungkin mengumpulkan data dari populasi seperti itu. Demikian juga dengan populasi terbatas (terhingga).
(2)    Masalah biaya
Besar kecilnya biaya tergantung juga dari banyak sedikitnya objek yang diselidiki. Semakin besar jumlah objek, maka semakin besar biaya yang diperlukan, lebih – lebih bila objek itu tersebar di wilayah yang cukup luas.
(3)    Masalah waktu
Penelitian sampel selalu memerlukan waktu yang lebih sedikit daripada penelitian populasi. Sehubungan dengan hal itu, apabila waktu yang tersedia terbatas, dan kesimpulan diinginkan dengan segera, maka penelitian sampel, dalam hal ini lebih cepat.
(4)    Percobaan yang sifatnya merusak
Banyak penelitian yang tidak dapat dilakukan pada seluruh populasi karena dapat merusak atau merugikan.
(5)    Masalah ketelitian
Masalah ketelitian adalah salah satu segi yang diperlukan agar kesimpulan cukup dapat dipertanggungjawabkan. Ketelitian dalam hal ini meliputi pengumpulan, pencatatan, dan analisis data.
(6)    Masalah ekonomis
3.4.Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah penelitian yang lebih menekankan pada manfaat dan pengumpulan informasi dengan cara mendalami fenomena yang diteliti (Moleong 2000). Menurut Poerwandari (1998), penelitian kualitatif menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya deskriptif, seperti transkripsi wawancara, catatan lapangan, gambar, foto, rekaman video, dan sebagainya. Pendekatan kualitatif mencoba menerjemahkan pandangan dasar interpretif dan fenomenologis.
Penelitian deskriptif kualitatif berusaha menggambarkan suatu gejala sosial. Dengan kata lain penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan sifat sesuatu yang tengah berlangsung pada saat studi. Metode kualitatif ini memberikan informasi yang lengkap sehingga bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan serta lebih banyak dapat diterapkan pada berbagai masalah. Metode penyelidikan deskriptif tertuju pada pemecahan masalah yang ada pada masa sekarang. Metode ini menuturkan, menganalisa, dan mengklasifikasi ; menyelidiki dengan teknik survey, interview, angket, observasi, atau dengan teknik test ; studi kasus, studi komperatif, studi waktu dan gerak, analisa kuantitatif, studi kooperatif atau operasional. Bisa disimpulkan bahwa metode deskriptif ini ialah metode yang menuturkan dan menafsirkan data yang ada, misalnya tentang situasi yang dialami, satu hubungan, kegiatan, pandangan, sikap yang menampak, atau tentang satu proses yang sedang berlangsung, pengaruh yang sedang bekerja, kelainan yang sedang muncul, kecenderungan yang menampak, pertentangan yang meruncing, dan sebagainya.
Pelaksanaan metode-metode deskriptif tidak terbatas hanya sampai pada pengumpulan dan penyusunan data, tetapi meliputi analisa dan interpretasi tentang arti data itu. Karena itulah maka dapat terjadi sebuah penyelidikan deskriptif, membandingkan persamaan dan perbedaan fenomena tertentu lalu mengambil bentuk studi komperatif ; atau mengukur sesuatu dimensi seperti dalam berbagai bentuk studi kuantitatif, angket, test, interview, dan lain-lain. Ciri-ciri metode deskriptif itu sendiri adalah memusatkan diri pada pemecahan masalah-masalah yang ada pada masa sekarang, pada masalah-masalah yang aktual, kemudian data yang dikumpulkan mula-mula disusun, dijelaskan, dan kemudian dianalisa (karena itu metode ini sering pula disebut metode analitik). Sifat-sifat lainnya adalah sama seperti pada setiap metode penyelidikan secara umum.
3.4.1.     Tekhnik observasi
Observasi diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan sistematik terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian. Pengamatan dan pencatatan yang dilakukan terhadap objek ditempat terjadi atau berlangsungnyaperistiwa, sehingga observasi berada bersama objek yang diselidiki, disebut observasi langsung. Sedang observasi tidak langsung adalah pengamatan yang dilakukan tidak pada saat berlangsungnya suatu peristiwa yang akan diselidiki.
Pedoman observasi berupa pengamatan yang dilakukan terhadap proses belajar pada objek penelitian. Tujunnya mengamati penggunaan pengembangan pembelajaran disekolah. Dalam penelitian ini terdapat hasil penelitian yang termasuk kedalam pedoman penelitian (evaluasi) yaitu pedoman evaluasi yang berupa pengamatan perkembangan yang terjadi pada siswa autis, pada setiap pertemuan untuk melihat perkembangan yang ada.
3.4.2.     wawancara
wawancara adalah cara mengumpulkan data melalui kontak atau hubungan pribadi antara pengumpul data dengan sumber data. Wawancara dilakukan terhadap guru, orang tua anak autis yaitu dengan cara memberikan pertanyaan – pertanyaan. Peneliti membuat pedoman wawancara yang berisi informasi yang dapat dijadikan sebagai data. Adapun wawancara dilakukan untuk memperoleh informasi yang diperlukan oleh peneliti mengenai pendapat dan situasi subjek peneliti dalam berbagai hal.
Wawancara terhadap Guru SLB :
(1)  Bagaimana gambaran motivasi subjek menjadi guru di SLB ?
(2)  Faktor – faktor apa yang menyebabkan timbulnya motivasi untuk menjadi guru SLB ?
(3)  Bagaimana cara memotivasi diri menjadi guru di SLB ?
(4)  Apak tugas menjadi guru SLB berat ?
(5)  Bagaimana proses belajar mengajar di SLB ?
(6)  Bagaimana menangani siswa penyandang autisme dan bagaimana model pembelajarannya ?
Wawancara terhadap orangtua yang memiliki anak autis :
(1)  Bagaimana tanggapan ibu ketika merasa memiliki anak autis ?
(2)  Apakah ada kendala yang dihadapi dalam mengatasi anak autis ?
(3)  Bagaimana kemampuan anak dalam berkomunikasi dan bermain di rumah ?
(4)  Pembelajaran apa yang bisa diterapkan dirumah ?
(5)  Bagaimana sikap anggota keluarga dalam menerima anak autis ?
(6)  Bagaimana sikap lingkungan sekitar dalam menerima anak autis ?
3.5.Instrumen Penelitian
Instrumen sebagai alat pengumpul data harus betul – betul dirancang dan dibuat sedemikian rupa sehingga menghasilkan data empiris sebagaimana adanya. Instrument penelitian diperlukan dalam suatu penelitian karena pada prinsipnya meneliti adalah melekukan pengukuran, kmaka harus ada alat pengukuran yang baik. Alat ukur dalam penelitian dinamakan instrument penelitian. Jadi instrument penelitian adalah alat yang digunakan untuk mengukur fenomrna alam dan sosial yang diamati. Pada peelitian kali ini yang dijadikan tolak ukur adalah pola komunikasi anak autis selama pembelajaran disekolah maupun di luar sekolah. Selama pembelajaran dilakukan peneliti mengamati pola komunikasi anak autis. Peneliti menggunakan instrumen lembar observasi dan wawancara.
3.6.Tekhnik Pengolahan Data
Kegiatan pengolahan data sebagai berikut :
(1)  Pengklasifikasikan data
yaitu menggolongkan aneka – ragam jawaban itu ke dalam kategori – kategori yang jumlahnya lebih lebih terbatas.
(2)  Kooding
yaitu usaha mengklasifikasikan jawaban – jawaban responden dengan jalan menandai masing – masing kode tertentu.
(3)  Tabulasi
yaitu usaha penyajian data, terutama pengolahan data yang akan menjurus ke analisis kualitatif.
3.7.Lokasi Penelitian
Lokasi yang digunakan sebagai tempat penelitian ini adalah  SLB PKK Sukarame Bandar Lampung. SLB ini merupakan sekolah luar biasa yang menerima dan membimbing siswa berkebutuhan khusus yang salah satunya adalah anak autis.
3.8.Jadwal
Jadwal penelitian ini dimuli dari bulan oktober 2013 – desember 2013.


Categories:

2 comments: