Proposal
tentang Autis ini menggambarkan pola komunikasi yang terjadi didalam dan diluar
sekolah, bagi anda yang yang ingin tau bagaimana tindak kehidupan dalam
bersosialisasi si Autis. Dibawah ini ada contoh proposal bagi anda yang ingin
membacanya.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar
Belakang
Anak-anak yang
menderita autism tampil seolah-olah mereka terbelenggu oleh pikiran mereka
sendiri, sebab mereka tidak dapat mempelajari bahasa, atau keterampilan sosial
yang dibutuhkan dilingkungannya. Anak – anak autis pada tahun ke dua dari
kehidupan mereka biasanya kehilangan kemampuan untuk berinteraksi dengan
orang-orang dilingkungannya dan tidak berbicara, atau menggunakan bahasa,
walaupun banyak diantara mereka mempunyai intelejensi yang normal. “Anak Autis
lebih suka menyendiri dan memiliki kegemaran dengan satu benda”. (Autisme pada
anak: Dr.dr.Y.Handojo, MPH). Penderita autis disebabkan oleh penyakit atau luka
didaerah – daerah tertentu diotak (perkembangan otak tidak normal), polusi
lingkungan oleh timbal, alumunium dan air raksa, disfungsi imunulogi, gangguan
masa kehamilan serta abnormalitas sistem gastrointernal (pencernaan), namun
secara umum belum ada kesepakan internasional.
Keadaan anak –
anak yang mengalami gangguan autis saat ini dimasyarakat kelompok menengah
kebawah sangat memprihatinkan. Selain itu fenomena saat ini banyak orang tua
yang memiliki anak yang mengalami gangguan autis namun tidak menyadari bahwa
anaknya mengalami gangguan autis. Menurut leo kanner (1943), istilah autism
berasal dari kata “autos” yang berarti diri sendiri dan “isme” yang berarti
suatu aliran, autis berarti suatu paham yang tertarik hanya pada dunianya
sendiri. Autis juga berarti suatu keadaan dimana seseorang anak berbuat
semaunya sendiri baik cara berfikir maupun berprilaku, kedaan ini biasanya
terjadi sejak usia masih balita dan biasanya terjadi sekitar usia 2 – 3 tahun.
Dimana biasanya pada usia tersebut anak sudah mulai belajar untuk bicara, tapi
pada anak yang mengalami gannguan autis mengalami keterlambatan dalam hal
interaksi sosial, masalah dalam bahasa yang digunakan dalam komunikasi sosial
dan permainan simbolik atau imajinatif.
Jika suatu
keluarga memiliki anak yang mengaami gangguan autis seharusnya keluarga
tersebut sesegera mungkin menangani gangguan autis tersebut sedini mungkin.
“Kurang nya kesadaran dan pengetahuan orang tua akan apa yang sedang berkembang
pada seorang anak”. (Autisme pada anak : DR. Dr. Y. Handojo, MPH). Orang tua
perlu mencurigai tanda – tanda jika terjadi keterlambatan dalam hal
berkomunikasi dan gangguan dalam berinteraksi pada anak mereka, karena jika
tidak ditangani secepatnya gangguan tersebut bisa mengakibatkan kesulitan
berkomunikasi dalam melakukan kegiatan apapun. Dan, jika tidak dilakukan
tindakan secepatnya dihawatirkan bisa mengganggu anak tersebut nantinya dalam hal
pendidikan, melihat resiko ini dinilai bahwa penanganan autis harus diutamakan.
Kodisi ideal mengenai gangguan autis perlu diketahui dan dimengerti seluruh
masyarakat, tanpa kecuali masyarakat menengah kebawah. Selain mengetahui
gejala-gejala dari gangguan autis sendiri, mereka pun sebagai orang tua bisa
mengetahui cara penanganannya dan cara mendidik anak-anak autis sendiri selain
itu yang paling penting adalah tidak ada salah perlakuan, seperti perlakuan
seolah – olah anak autis mengalami gangguan kejiwaan, sehingga diperlakukan
tidak layak.
Informasi saat
ini mengenai autis dimasyarakat masih belum banyak dan belum mencakup lapisan
masyarakat, bahkan banyak yang tidak mengerti apa itu gangguan autis, informasi
di masyarakat mengenai gangguan autis hanya diketahui golongan masyarakat
menengah ke atas. Sementara masyarakat golongan menengah ke bawah masih banyak
yang tidak mengerti gejala – gejala dari gangguan autis dan cara
penanggulangannya. Banyak orangtua yang menganggap keterlambatan berkomunikasi
dan interaksi yang terjadi pada anaknya tersebut adalah hal yang wajar atau
tidak menganggap gangguan autis yang terjadi pada anak mereka merupakan gejala
gangguan mental atau gangguan jiwa. Sehingga anak – anak yang mengalami
gangguan autis ini diperlakukan tidak semestinya dengan kondisi yang
mengkhawatirkan dan ini dapat memperburuk keadaan anak tersebut karena semakin
terkucilkan bahkan dilingkugan keluarganya sendiri. Maka dari itu media
informasi yang ada di masyarakat mengenai gangguan autis perlu dibuat lebih
banyak sehingga nantinya anak tersebut bisa kembali hidup normal, dapat
mengenyam pendidikan, mampu hidup mandiri, berkomunikasi dan berinteraksi
dengan sekitarnya.
Dalam
Pendidikan Luar Biasa kita banyak mengenal macam – macam Anak Berkebutuhan Khusus.
Salah satunya anak Autis. Anak autis juga merupakan pribadi individu yang harus
diberi pendidikan.
Permasalahan
yang dilapangan terkadang setiap orang tidak mengetahui tentang anak autis
tersebut. Oleh kerena itu kita harus kaji lebih dalam tentang anak autis. Dalam
pengkajian tersebut kita butuh banyak informasi mengenai siapa anak autis,
penyebabnya dan lainnya. Dengan adanya bantuan baik itu pendidikan secara umum,
pendidikan khusus, maupun pendidikan luar biasa. Dalam masyarakat nantinya anak
– anak tersebut dapat lebih mandiri dan anak – anak tersebut dapat
mengembangkan potensi yang ada dan dimilikinya yang selama ini terpendam karena
ia belum bisa mandiri.
Anak autis
adalah kondisi anak yang mengalami gangguan perkembangan fungsi otak yang mencakup
bidang sosial, komunikasi verbal dan non-verbal, imajinasi, fleksibilitas,
kognisidanatensi. Anak autis kurang dalam merespon dari lingkungan sebagaimana
mestinya dan memperlihatkan kurangnya kemampuan komunikasi dan sering merespon
lingkungan dengan cara yang unik. Penyandang autis dalam berkomunikasi dengan
guru dan teman sesama autis di sekolah menggunakan dua jenis komunikasi, yaitu
komunikasi satu arah dan komunikasi dua arah. Sedangkan ketika berada di luar
sekolah penyandang autis hanya menggunakan pola komunikasi dua arah dengan
orang tuanya. Komunikasi yang digunakan anak autis sangatlah unik karena
berbeda dengan anak normal pada umumnya. Pola komunikasi yang digunakan anak
autis dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan teman sesama autis, guru dan
orang tua tergantung pada tingkat kemapuan dan spektrum autis yang dimiliki
setiap anak. Autisme adalah gangguan pervasif yang mencakup gangguan – gangguan
dalam komunikasi verbal dan non-verbal, interaksi sosial, perilaku dan emosi
(Sugiarto,dkk,2004). Kemampuan anak autis tidak dpat diketahui secar langsung
karena anak autis memiliki kemampuan tinggi dalam bidang tertentu.
Anak
penyandang autis kesulitan dalam merespon rangsangan, tidak memiliki empati dan
tidak tahu apa reaksi orang lain atas perbuatannya. Pemahaman anak penyandang
autis sangat kurang, sehingga apa yang
di baca sulit untuk dipahami, anak autis
lebih mudah belajar memahami melalui media gambar-gambar.
Selain itu
penyandang autis sangat menyukai permainan sehingga pendekatan bermain sambil
belajar dilakukan dalam rangka
meningkatkan konsentrasi anak autis agar dapat mengikuti pembelajaran. Sebab
kemampuan konsentrasi anak autis berbeda dengan anak berkebutuhan khusus
lainnya tandanya kontak mata sangat kurang, ekpresi wajah kurang hidup, kurang
mampu menjalin hubungan sosial dan emosional timbal balik.
Anak – anak
penyandang autis mengalami kesulitan berbahasa sehingga sulit berkomunikasi
serta gangguan interaksi sosial dan gangguan perilaku bermain. Anak – anak yang
mengalami gangguan seperti ini harus tetap diberikan pendidikan untuk
memperbaiki kualitas hidup mereka. Dan salah satu yang memberikan pelayanan
untuk anak-anak penyandang autis adalah sekolah luar biasa (SLB). Penelitian
ini menggunakan metode deskriptif. Dalam strategi komunikasi interpersonal
aktif pengajar melakukan serangkaian pendekatan pada orang-orang terdekat murid
untuk mendapat informasi tentang kondisi murid dan bagaimana kepribadian murid
sehari – harinya. Pola pasif, pengajar melakukan pengamatan atau observasi pada
saat murid beraktivitas baik di dalam maupun diluar kelas untuk mengetahui
sejauh mana perkembangan murid. Pola interaktif pengajar berinteraksi dengan
murid secara langsung, mengajarinya secara personal dan pengajar empati
terhadap murid. Dalam mengajar mempergunakan pola komunikasi verbal dan non
verbal. Saat mengajar, pengajar menggunakan bahasa yang digunakan sehari – hari
dalam menyampaikan pesan. Pengajar harus menggunakan suara yang jelas bahkan
perlu pengajar melakukan pengulangan kata. Media yang dipergunakan pengajar
adalah papan tulis, buku, pensil, bolpoint, puzzle dan logiko. Untuk menunjang
komunikasi verbalnya pengajar selalu mempergunakan isyarat – isyarat tertentu.
Dalam mengajar
baik itu gerakan tangan, kontak mata, ekspresi wajah dan tentunya alat – alat
peraga untuk menunjang keberhasilan pendidikan.
1.2.Rumusan
Masalah
Berdasarkan
dari latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah. Semakin meningkatnya anak
yang menderita gangguan autis pada saat ini masyarakat. Informasi yang diterima
mereka sangat sedikit bahkan bisa jadi tidak mengetahuinya sama sekali.
1. Bagaimana Pola komunikasi untuk
pembelajaran anak autis dalam menerima maupun menyampaikan pesan ?
2. Bagaimana Pola Pembelajaran yang efektif
untuk anak autis ?
3. Bagaimana pola komunikasi anak autis
dengaan teman sejawat ?
4. Bagaimana pembelajaran orang tua dalam
mendidik anak autis ?
5. Bagaimana keberadaan anak autis di tengah
masyarakat ?
1.3.Tujuan dan
Kegunaan
Tujuan dari
penelitian ini adalah agar masyarakat lebih mengerti gejala – gejala awal dari
gangguan autis dan tindakan apa saja yang harus diambil. Sehingga nantinya
tidak salah dan memperburuk yang berpengaruh bagi perkembangan yang lebih
lanjut bagi anak yang menderita autis itu sendiri.
Tujuan
Penelitian
1. Untuk mengetahui pola perkembangan anak
autis dalam menyampaikan dan menerima pesan.
2. Untuk mengetahui keberadaan anak autis di
tengah mesyarakat.
Kegunaan
Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
Untuk menambah
wawasan dan pengetahuan peneliti didalam melihat pola komuikasi anak autis
didalam maupun diluar sekolah.
2. Kegunaan Praktis
Data yang
diperoleh dapat menjadi acuan bagi para guru dan orangtua anak autis.
Membantu
memberikan penjelasan mengenai gangguan autis kepada seluruh masyarakat.
Memberikan
pengetahuan gejala – gejala awal dari gangguan autis.
Memberikan
pengetahuan penanganan dan penanggulangan yang bisa dilakukan oleh orangtua.
BAB II
2.1. Kajian Teori
Teori
Komunikasi Visual Untuk Anak Autis
Teori belajar
dan desain pembelajaran dengan menciptakan model – model akan bagaimana
pebelajar menerima, berproses, dan memanipulasi informasi. Penganut Kognitivis
melihat dengan cara yang berbeda akan pola – pola belajar yang telah terbiasa.
Contohnya, menciptakan suatu kemampuan yang di sebut dengan memori jangka
pendek dan memori jangka panjang. Informasi yang baru disimpan oleh memori
jangka pendek, dimana informasi itu dilatih sampai dapat dikatakan siap
disimpan dalam memori jangka panjang. Pola komunikasi makna media dalam bahasa
latin adalah ”antara”, istilah ini mengacu pada apapun yang membawa informasi
antara sumber dan penerima. Contohnya, meliputi video, televisi, diagram,
material cetak, komputer, dan instruktur. Ini semua dianggap media pembelajaran
ketika membawa pesan dengan tujuan pembelajaran. Tujuan dari media adalah untuk
memudahkan komunikasi. Sejalan dengan adanya sekolah dan kampus berbasis media
dan jaringan koputer internet, dunia menjadi kelas tersendiri bagi pembela anak
kecil belajar.
2.1.1
Pengertian Autis
Autisme
berasal dari kata “Autos” yang berarti diri sendiri dan “isme” yang berarti
suatu aliran. Berarti autisme adalah suatu paham yang tertarik hanya pada
dunianya sendiri. Autis adalah suatu gangguan perkembangan yang komplek
menyangkut komunikasi, interaksi sosial dan aktifitas imajinasi, gangguan
sensoris, pola bermain, perilaku, emosi. Gejalanya mulai tampak sebelum anak
berusia 3 tahun, bahkan pada autis infantil gejalanya sudah ada sejak lahir.
Penyebab autis menurut beberapa teori adalah faktor genetika, virus seperti
rubella, herpes, toxo jamur, nutrisi yang buruk, keracunan makanan. Pada
kehamilan dapat menghambat pertumbuhan sel otak yang dapat menyebabkan fungsi
otak bayi yang dikandung terganggu terutama fungsi pemahaman, komunikasi dan
interaksi.
Leo Kanner
(Handojo, 2003) autisme merupakan suatu jenis gangguan perkembangan pada anak
yang cenderung menyendiri. Chaplin (2000) mengatakan :
(1) cara
berpikir yang dikendalikan oleh kebutuhan personal atau diri sendiri.
(2) menanggapi
dunia berdasarkan penglihatan dan harapan sendiri.
(3) keyakinan
ekstrim dengan fikiran fantasi sendiri.
American Psych
: autisme adalah ganguan perkembangan yang terjadi pada anak yang mengalami
kondisi menutup diri. Gangguan ini mengakibatkan anak mengalami keterbatasan
dari segi komunikasi, interaksi sosial, dan perilaku “Sumber dari Pedoman
Pelayanan Pendidikan Bagi Anak Austistik”. (American Psychiatic Association
2000).
Autisme adalah
suatu kondisi yang mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat masa balita,
yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang
normal. Hal ini mngakibatkan anak tersebut terisolasi dari manusia lain dan
masih dalam dunia repetitive, aktivitas dan minat yang obsesif.
(Baron-Cohen,
1993) Jadi anak autisme merupakan anak yang mengalami gangguan perkembangan
yang sangat kompleks yang dapat diketahui sejak umur sebelum 3 tahun mencakup
bidang komunikasi, interaksi sosial serta perilakunya.
Ditinjau dari
segi pendidikan : anak autis adalah anak yang mengalami gangguan perkembangan
komunikasi, sosial, perilaku pada anak sesuai dengan kriteria. sehingga anak
ini memerlukan penanganan atau layanan pendidikan secara khus sejak dini.
Ditinjau dari
segi medis : anak autis adalah anak yang mengalami gangguan atau kelainan otak
yang menyebabkan gangguan perkembangan komunikasi, sosial, perilaku, sesuai
dengan kriteria sehingga anak memerlukan penanganan atau terapi secara klinis.
Ditinjau dari
segi psikologi : anak autis adalah anak yang mengalami gangguan perkembangan
yang berat bisa diketahui sebelum usia tiga tahun, aspek komunikasi sosial,
perilaku, bahasa sehingga anak perlu adanya penanganan secara psikologis.
Ditinjau dari
segi sosial : anak autis adalah anak yang mengalami gangguan perkembangan dari
beberapa aspek komunikasi, bahasa, interasi sosial, sehingga anak ini
memerlukan bimbingan keterampilan sosial agar dapat menyesuaikan dengan
lingkungannya.
Jadi Anak
Autisme merupakan salah satu gangguan perkembangan fungsi otak yang bersifat
pervasive (inco) yaitu meliputi gangguan kognitif, bahasa, perilaku,
komunikasi, dan gangguan interaksi sosial, sehingga ia mempunyai dunianya
sendiri.
Anak Autis
adalah adanya enam gejala atau gangguan yaitu :
(1) Dalam bidang interaksi sosial.
Tidak tertarik
untuk bermain bersama teman, lebih suka menyendiri, tidak ada atau sedikit
kontak mata atau menghindari tatapan, senang menarik – narik tangan orang lain
untuk melakukan apa yang diinginkan.
(2) Komunikasi.Perkembangan bahasa lambat, senang
meniru, anak tampak seperti tuli, sulit berbicara, kata yang digunakan tidak
sesuai artinya, berbicara tanpa arti berulang – ulang, bicara tidak dipakai
untuk alat komunikasi.
(3) Perilaku dan Pola Bermain.
Tidak bermain
seperti anak – anak pada umumnya, senang akan benda – benda yang berputar,
tidak bermain sesuai fungsi mainan, tidak kreatif, tidak imajinatif, dapat
sangat lekat dengan benda tertentu.
(4) Gangguan sensoris.
Bila mendengar
suara keras langsung menutup telinga, sering menggunakan indera pencium dan
perasaannya, dapat sangat sensitif terhadap sentuhan, tidak sensitif terhadap
rasa sakit rasa takut.
(5) Perkembangan terlambat atau tidak normal.
Tidak sesuai
seperti anak normal, keterampilan sosial, komunikasi dan kognisi, dapat
mempunyai perkembangan yang normal pada awalnya, kemudian menurun bahkan sirna.
(6) Gejala muncul
Gejala diatas
dapat dimulai tampak sejak lahir atau saat masih kecil, pada beberapa anak
sekitar umur 5 sampai 6 tahun gejala tampak kurang.
5.1.2. Klasifikasi Anak Autisme
Menurut Yatim
(2002) klasifikasi anak autis dikelompokkan menjadi tiga, antar lain :
(1) Autisme Persepsi : dianggap autisme yang
asli karena kelainan sudah timbul sebelum lahir. Ketidakmapuan anak berbahasa
termasuk pada penyimpangan reaksi terhadap rangsangan dari luar, begitu juga
ketidakmampuan anak bekerjasama dengan orang lain, sehingga anak bersikap masa
bodoh.
(2) Autisme Reaksi : terjadi karena beberapa
permasalahan yang menimbulkan kecemasan seperti orangtua meninggal, sakit
berat, pindah rumah atau sekolah dan sebagainya. Autisme ini akan memumculkan
gerakan – gerakan tertentu berulang – ulang disertai kejang – kejang. Gejala ini muncul pada usia lebih besar 6
sampai 7 tahun sebelum anak memasuki tahapan berpikir logis.
(3) Autisme yang timbul kemudian : terjadi
setelah anak menginjak usia sekolah, dikarenakan kelainan jaringan otak yang
terjadi setelah anak lahir. Hal ini akan mempersulit dalam hal pemberian
pelatihan dan pelayanan pendidikan untuk mengubah perilakunya yang sudah
melekat.
5.1.3. Penyebab Autisme
Penyebab autis
antara lain :
Terjadinya
kelainan struktur sel otak yang disebabkan virus rubella, toxoplasma, herpes,
jamur, pendarahan, keracunan makanan.
Faktor genetik
(ada gen tertentu yang mengakibatkan kerusakan pada sistem limbic pusat
emosional)
Faktor sensory
interpretation errors
Sampai
sekarang belum terdeteksi faktor yang menjadi penyebab tunggal timbulnya
gangguan autisme. Namun demikian ada beberapa faktor yang di mungkinkan dapat
menjadi penyebab timbulnya autisme :
(1) Menurut Teori Psikososial
Beberapa ahli
(Kanner dan Bruno Bettelhem) autisme dianggap sebagai akibat hubungan yang
dingin, tidak akrab antara orang tua (ibu) dan anak. Demikian juga dikatakan,
orang tua atau pengasuh yang emosional, kaku, obsesif, tidak hangat bahkan
dingin dapat menyebabkan anak asuhnya menjadi autistik.
(2) Teori Biologis
Faktor genetic
: keluarga yang terdapat anak autistik memiliki resiko lebih tinggi dibanding
populasi keluarga normal.
Pranatal,
Natal dan Post Natal yaitu : pendarahan pada kehamilan awal, obat-obatan,
tangis bayi terlambat, gangguan pernapasan, anemia.
Neuro anatomi
yaitu: Gangguan atau disfungsi pada sel-sel otak selama dalam kandugan yang
mungkin disebabkan terjadinya gangguan oksigenasi, perdarahan, atau influsi.
Struktur dan
Biokimiawi yaitu : kelainan pada cerebellum dengan sel – sel Purkinje yang
jumlahnya terlalu sedikit, padahal sel-sel purkinje mempunyai kandungan
serotinin yang tinggi. Demikian juga kemungkinan tingginya kandungan dapomin
atau opioid dalam darah.
(3) Keracunan logam berat misalnya terjadi pada
anak yang tinggal dekat tambanga batu bara dan sebagainya.
(4) Gangguan pencernaan, pendengaran dan
penglihatan.
Menurut data
yang ada 60% anak autistik mempunyai sistem pencernaan kurang sempurna. Dan
kemungkinan timbulnya gejala autistik karena adanya gangguan dalam pendengaran
dan penglihatan.
2.1.4. Ciri –
Ciri Anak Autis
Menurut
American Psychiatric Association dalam buku Diagnostic and Statistical Manual
of Mental Disorder Fourth Edition Text Revision (DSM IV-TR, 2004), kriteria
diagnostik untuk dari gangguan autistik adalah sebagai berikut :
A. Jumlah dari
6 (atau lebih) item dari 1, 2 dan 3, dengan setidaknya dua dari 1, dan satu
dari masing-masing 2 dan 3:
(1) Kerusakan
kualitatif dalam interaksi sosial, yang dimanifestasikan dengan setidak –
tidaknya dua dari hal berikut :
(a) kerusakan
yang dapat ditandai dari penggunaan beberapa perilaku non verbal seperti
tatapan langsung, ekspresi wajah, postur tubuh dan gestur untuk mengatur
interaksi sosial.
(b) kegagalan
untuk mengembangkan hubungan teman sebaya yang tepat menurut tahap
perkembangan.
(c) kekurangan
dalam mencoba secara spontanitas untuk berbagi kesenangan, ketertarikan atau
pencapaian dengan orang lain (seperti dengan kurangnya menunjukkan atau membawa
objek ketertarikan).
(d) kekurangan
dalam timbal balik sosial atau emosional.
(2) Kerusakan kualitatif dalam komunikasi yang
dimanifestasikan pada
setidak-tidaknya satu dari hal berikut :
(a) penundaan
dalam atau kekurangan penuh pada perkembangan bahasa (tidak disertai dengan
usaha untuk menggantinya melalui beragam alternatif dari komunikasi, seperti
gestur atau mimik).
(b) pada
individu dengan bicara yang cukup, kerusakan ditandai dengan kemampuan untuk
memulai atau mempertahankan percakapan dengan orang lain.
(c) penggunaan
bahasa yang berulang – ulang dan berbentuk tetap atau bahasa yang aneh.
(d) pekurangan
divariasikan, dengan permainan berpura-pura yang spontan atau permainan imitasi
sosial yang sesuai dengan tahap perkembangan.
(3)
Dibatasinya pola-pola perilaku yang berulang-ulang dan berbentuk tetap, ketertarikan
dan aktivitas, yang dimanifestasikan pada setidak-tidaknya satu dari hal
berikut:
(a) meliputi
preokupasi dengan satu atau lebih pola ketertarikan yang berbentuk tetap dan
terhalang, yang intensitas atau fokusnya abnormal.
(b)
ketidakfleksibilitasan pada rutinitas non fungsional atau ritual yang spesifik.
(c) sikap
motorik yang berbentuk tetap dan berulang (tepukan atau mengepakkan tangan dan
jari, atau pergerakan yang kompleks dari keseluruhan tubuh).
(d) preokupasi yang tetap dengan bagian dari objek.
B. Fungsi yang
tertunda atau abnormal setidak-tidaknya dalam 1 dari area berikut, dengan
permulaan terjadi pada usia 3 tahun :
(1) interaksi
sosial
(2) bahasa
yang digunakan dalam komunikasi sosial atau
(3) permainan
simbolik atau imajinatif.
C. Gangguan
tidak lebih baik bila dimasukkan dalam Rett’s Disorder atau Childhood
Disintegrative Disorder.
Menurut
presentase gangguan autistik lebih banyak dijumpai pada pria dibanding wanita
dengan ratio 5 : 1. Dalam pengklasifikasian gangguan autisme untuk tujuan
ilmiah dapat digolongkan atas autisme ringan, sedang dan berat. Namun
pengklasifikasian ini jarang dikemukakan pada orangtua karena diperkirakan akan
mempengaruhi sikap dan intervensi yang dilakukan. Padahal untuk penanganan dan
intervensi antara autisme ringan, sedang dan berat tidak berbeda. Penanganan
dan intervensinya harus intensif dan terpadu sehingga memberikan hasil yang
optimal. Orangtua harus memberikan perhatian yang lebih bagi anak penyandang
autis. Selain itu penerimaan dan kasih sayang merupakan hal yang terpenting
dalam membimbing dan membesarkan anak autis (Yusuf, 2003).
5.2. Hipotesis
Adapun rumusan
hipotesis dalam penelitian ini :
Hipotesis
sebagai jawaban sementara dari penelitian ini adalah :
1. Tidak terdapat hubungan positif dan
signifikan antara pola komunikasi anak autis dengan kompetensi sosial pada
orangtua yang memiliki anak autis.
2. Terdapat hubungan positif dan signifikan
antara pola komunikasi anak autis dengan kompetensi sosial pada orangtua yang
memiliki anak autis.
BAB III
3.1.
Penelitian yang digunakan
Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan
pendekatan deskriptif. Penyandang autis dalam berkomunikasi dengan guru dan
teman sesama autis di sekolah menggunakan dua jenis komunikasi, yaitu
komunikasi satu arah dan komunikasi dua arah.
Sedangkan
ketika berada di luar sekolah penyandang autis hanya menggunakan pola
komunikasi dua arah dengan orang tuanya. Komunikasi yang digunakan anak autis
sangatlah unik karena berbeda dengan anak normal pada umumnya. Pola komunikasi
yang digunakan anak autis dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan teman
sesama autis, guru dan orang tua tergantung pada tingkat kemapuan dan spektrum
autis yang dimiliki setiap anak.
3.2.
Operasionalisasi Konsep
3.2.1.
Pengertian Komunikasi
Istilah
komunikasi sering diartikan sebagai kemampuan bicara, padahal komunikasi lebih
luas dibandingkan dengan bahasa dan bicara. Oleh karena itu agar komunikasi
tidak diartikan secara sempit, perlu kiranya dijelaskan tentang pengertian
komunikasi. Komunikasi secara terminoligis berarti penyampaian suatu pernyataan
oleh seseorang pada orang lain sebagai konsekuensi dari hubungan sosial
(Sunardi dan Sunaryo, 2006:174). Pengertian komunikasi disini lebih menekankan
komunikasi sebagai alat hubungan sosial sebagai konsekuensi dari manusia
sebagai makhluk sosial. Sehingga untuk menjalankan perannya sebagai makhluk
sosial manusia harus berkomunikasi.
Menurut Quill
(1995) dalam Gardner, et al. (1999:2) menyatakan bahwa komunikasi merupakan
proses yang dinamis di dalamya terjadi proses enkoding dari penyampai pesan dan
dekoding dari penerima pesan, terjadi pertukaran iformasi, penyampaian perasaan
(melibatkan emosi), ada tujuan – tujuan tertentu serta ada penyampaian ide.
Dari pengertian komunikasi tersebut dapat dikatakan bahwa komunikasi itu selalu
melibatkan dua individu atau lebih dan yang terpenting adalah keinginan,
maksud, pesan atau tujuan pengirim pesan dapat diterima dan dipahami oleh
penerima pesan. Komunikasi menjadi aspek penting untuk mengekspresikan perasaan,
gagasan, keinginan, dan kebutuhan – kebutuhan.
Untuk
melakukan komunikasi ternyata dibutuhkan alat. Alat utama dalam komunikasi
adalah bahasa (Jordan dan Powell, 2002:51). Berarti komunikasi itu melibatkan
bahasa verbal maupun non verbal, mencakup lisan, tulisan, bahasa isyarat,
bahasa tubuh, dan ekspresi wajah.
Dari
pengertian komunikasi di atas ada tiga hal penting yang berkaitan dengan
komunikasi, pertama, komunikasi harus melibatkan dua orang atau lebih, kedua,
komunikasi merupakan pertukaran informasi yang bersifat dua arah, dan ketiga,
mengandung pemahaman. Sebuah pengumunan yang dipasang di papan pengumuman bukan
merupakan komunikasi. Tapi kalau pengumuman itu telah dibaca, dimengerti, dan
ditanggapi, maka pengumuman itu bisa disebut komunikasi. Komunikasi dikatakan
efektif hanya jika suatu gagasan dapat berpindah dari pemikian seseorang ke
pemikiran orang lain (Moore, 1987:79).
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa komunikasi adalah suatu proses dinamis yang
menggunakan bahasa sebagai alat utamanya dalam rangka individu melakukan
hubungan sosial dengan individu lainnya yang di dalamnya melibatkan ekspresi
perasaan, penyampaian ide, keinginan, kebutuhan-kebutuhan, dan tujuan.
3.2.2. Jenis
Komunikasi
Sebagaimana
telah dikatakan sebelumnya bahwa alat/media utama komunikasi adalah bahasa,
sementara bahasa itu sendiri secara umum terbagi dua, yaitu bahasa verbal
(lisan) dan non verbal (isyarat, gerak tubuh, ekspresi wajah, tulisan). Oleh
karena itu komunikasi berlangsung tidak hanya dengan menggunakan kata-kata
tetapi juga dengan bantuan tindakan, gerak isyarat, ekspresi wajah, gambar yang
bermakna, dan tulisan. Berdasrkan hal tersebut maka jenis komunikasi itu ada
dua, yaitu :
(1) Komunikasi
verbal (lisan)
(2) Komunikasi
non verbal (isyarat, gerak tubuh, ekspresi wajah, tulisan)
3.2.3.
Perkembangan Komunikasi Pada Anak
(1) The own
agenda stage
Pada tahap ini
anak lebih suka bemain sendiri dan tampaknya tidak tertarik pada orang-orang di
sekitarnya. Anak belum tahu bahwa dengan komunikasi ia dapat mempengaruhi orang
lain. Untuk mengetahui keinginannya, kita harus memperhatikan gerak tubuh dan
ekspresi wajah anak, seringkali anak mengambil sendiri benda-benda yang
diinginkannya.
(2) The
requester stage
Anak mulai
menyadari bahwa tingkah lakunya dapat mempengaruhi orang di sekitarnya, bila
menginginkan sesuatu, anak menarik tangan kita dan mengarahkannya ke benda yang
diinginkan. Sebagian anak telah mampu mengulangi kata-kata atau suara tetapi
bukan untuk berkomunikasi melainkan untuk menenangkan dirinya. Anak juga mulai
bisa mengikuti perintah sederhana tapi responnya belum konsisten.
(3)The early
communication stage
Anak telah
menyadari bahwa ia bisa menggunakan satu bentuk komunikasi tertentu secara
knsisten pada situasi khusus. Namun demikian, inisiatif berkomunikasi masih
terbatas pada pemenuhan kebutuhannya. Anak mulai memahami isyarat visual atau
gambar komunikasi dan memahami kalimat – kalimat sederhana yang kita ucapkan.
Bila terlihat perkembangan bahwa anak mulai memanggil nama, menunjuk sesuatu yang
diinginkan, atau melakukan kontak mata untuk menarik perhatian, maka berarti
anak sudah siap untukmelakukan komunikasi dua arah.
(4)The partner
stage
Tahap ini
merupakan fase yang paling efektif. Bila kemampuan bicara anak baik, ia akan
mampu melakukan percakapan sederhana. Anak juga dapat diminta untuk
menceritakan pengalamannya, keinginannya yang belum terpenuhi dan
mengekspresikan perasaanya. Namun demikian, biasanya anak masih terpaku pada
kalimat-kalimat yang telah dihapalkan dan sulit menemukan topik pembicaraan
yang tepat pada situasi baru. Bagi anak-anak yang masih mengalami kesulitan
untuk berbiara, komunikasi dapat dilakukan dengan menggunakan rangkaian gambar
atau menyusun kartu-kartu bertulisan.
3.2.3.
Hambatan-Hambatan Pada Anak Autis
Anak autis
mengalami gangguan perkembangan yang kompleks sehingga mereka juga disebut
mengalami gangguan pervasif. Peeters (2004:4) mengartikan pervasif yaitu
menderita kerusakan jauh di dalam meliputi keseluruhan dirinya. Istilah
pervasif juga dilandasi oleh gangguan perkembangan yang diperlihatkan oleh anak
autis.
Gangguan-gangguan
itu hampir meliputi seluruh aspek kehidupannya, antara lain komunikasi,
interaksi sosial, gangguan dalam sensoris, pola bermain, perilaku khas, dan
emosi (Riyanti, 2002:10, Peeters, 2004:5; Hidayat, 2006:2; Sunardi dan Sunaryo,
2006:193). Gangguan-gangguan tersebut jelas akan mengahambat perkembangan anak
autis.
Di bawah ini
dijelaskan hambatan atau gangguan-gangguan yang sering diperlihatkan oleh anak
autis, diantaranya adalah:
3.2.4.
Hambatan dalam komunikasi
(1) Perkembangan bahasa lambat atau sama sekali
tidak ada.
(2) Anak tampak seperti tuli, sulit bicara, atau
pernah bicara, tetapi kemudian sirna.
(3) Kata – kata
yang digunakan tidak sesuai artinya.
(4) Mengoceh tanpa arti berulang-ulang dengan
bahasa yang tidak dapat dimengerti oleh orang lain.
(5) Bicara tidak dipakai untuk alat berkomunikasi
(6) Senang meniru atau membeo (echolalia)
(7) Bila senang meniru, dapat hapal betul
kata-kata atau nyanyian tapi tidak mengerti artinya.
(8) Sebagian dari anak autis tidak bicara (non
verbal) atau sedikit berbicara sampai usia dewasa.
(9) Senang menarik-narik tangan orang lain untuk
melakukan apa yang ia inginkan.
3.2.5.
Hambatan dalam interaksi sosial
(1) Anak autis
lebih senang menyendiri.
(2) Tidak ada
atau sedikit kontak mata atau menghindari untuk bertatapan.
(3) Tidak
tertarik untuk bermain bersama teman.
(4) Bila
diajak bermain, ia tidak mau dan menjauh.
3.2.6.
Gangguan dalam sensoris
(1) Sangat sensitif terhadap sentuhan, seperti
tidak suka dipeluk.
(2) Bila mendengar suara keras langsung menutup
telinga.
(3) Senang mencium-cium, menjilat mainan atau
benda-benda.
(4) Tidak sensitif terhadap rasa sakit atau rasa
takut.
3.2.7.
Hambatan dalam pola bermain
(1) Tidak
bermain seperti anak-anak pada umumnya.
(2) Tidak suka
bermain dengan anak sebayanya.
(3) Tidak
kreatif dan tidak imajinatif.
(4) Tidak
bermain sesuai fungsinya.
(5) Senang pada benda-benda yang berputar,
seperti kipas angin, roda, dan lain-lain.
(6) Dapat sangat lekat dengan benda-benda
tertentu kemudian dipegang terus dan dibawa kemana-mana.
3.2.8.
Gangguan perilaku khas
(1) Dapat berperilaku berlebihan (hiperaktif)
atau kekurangan (hipoaktif).
(2) Memperlihatkan stimulasi diri, seperti
bergoyang – goyang, mengepakkan tangan seperti burung, berputar-putar,
mendekatkan pada pada layar TV, lari atau berjalan bolak-balik, melakukan
gerakan yang berulang-ulang.
(3) Tidak suka
pada perubahan.
(4) Dapat
duduk benging dengan tatapan kosong.
3.2.9.
Gangguan emosi
(1) Sering
marah-marah tanpa alasan yang jelas, tertawa-tawa, menangis tanpa alasan.
(2) Temper
tantrum (mengamuk tak terkendali) jika dilarang atau dipenuhi keinginannya.
(3) Suka
menyerang dan merusak dirinya sendiri.
(4) Tidak mempunyai
empati dan tidak mengerti perasaan orang lain.
Hambatan –
hambatan di atas tidak semuanya ada pada anak autis. Hambatan dapat beraneka
ragam sehingga hambatan yang dimiliki seorang anak autis belum tentu sama
dengan anak autis lainnya. Itulah yang menyebabkan tidak ada anak autis yang
benar – benar sama dalam semua tingkah lakunya.
3.2.10.
Perkembangan Komunikasi Anak Autis
Salah satu
kesulitan yang dimiliki oleh anak autis adalah dalam hal komunikasi (Delphie,
2006:1). Oleh karena itu perkembangan komunikasi pada anak autis sangat
berbeda, terutama pada anak-anak yang mengalami hambatan yang berat dalam
penguasaan bahasa dan bicara.
Kesulitan
dalam komunikasi ini dikarenakan anak autis mengalami gangguan dalam berbahasa
(verbal dan non verbal), padahal bahasa merupakan media utama dalam komunikasi.
Mereka sering kesulitan untuk mengkomunikasikan keinginannya baik secara verbal
(lisan/bicara) maupun non verbal (isyarat/gerak tubuh dan tulisan).
Sebagian besar
dari mereka dapat berbicara, menggunakan kalimat pendek dengan kosa kata
sederhana namun kosa katanya terbatas dan bicaranya sulit dipahami. Karena kosa
katanya terbatas maka banyak perkataan yang mereka ucapkan tidak dipahaminya.
Mereka yang dapat berbicara senang meniru ucapan dan membeo (echolalia).
Beberapa diantara mereka sering kali menunjukkan kebingungan akan kata ganti.
Contoh, mereka tidak menggunakan kata saya dan kamu secara benar, atau tidak
mengerti ketika lawan bicaranya beralih dari kamu menjadi saya atau sebaliknya
(Riyanti, 2002:16).
Pada saat anak
pada umumnya sudah mengetahui nama, mampu merespon terhadap ya dan tidak,
mengerti konsep abstrak laki-laki – perempuan, dan mengikuti perintah-perintah
sederhana. Sementara itu pada anak autis mungkin hanya echolalia terhadap apa
yang dikatakan atau tidak bicara sama sekali.
Anak pada
umumnya biasanya mulai mengoceh sekitar umur enam bulan. Ia mulai bicara dalam
bentuk kata pada umur satu tahun dan merangkai dua atau tiga kata dalam satu
kalimat sebelum delapan belas bulan. Sedangkan pada anak autis sebaliknya, ia
tidak memiliki pola perkembangan bahasa. Kemampuan komunikasi mereka
bervairasi, diantara mereka ada yang tidak pernah bicara, seperti anak pada
umumnya sampai delapan belas bulan atau dua puluh bulan, kadang-kadang
kemampuan bicara mereka hilang begitu saja.
Anak autis
yang sulit berbicara, seringkali mengungkapkan diri atau keinginannya melalui
perilaku. Memang untuk beberapa kasus anak autis yang ada yang sudah mampu
menyampaikan keinginannya dengan cara menarik tangan orang yang didekatnya atau
menunjuk ke suatu arah yang diinginkan, atau mungkin menjerit. Jika orangtua
atau orang disekitarnya tidak memahami apa yang diinginkannya anak akan
marah-marah, mengamuk dan mungkin tantrumnya akan muncul.
Siegel
(1996:44) secara umum menggambarkan perkembangan komuniksi anak autis terbagi
dalam dua bagian, yaitu :
(1) Perkembangan komunikasi verbal, meliputi
keterlambatan berbahasa bahkan ada diantara mereka yang kemampuan berbahasanya
hilang, echolalia dan menggunakan bahasa yang aneh/tidak dimengerti,
menggunakan bahasa sederhana (misalnya minta makan:”Makan, ya!”).
(2) Perkembangan komunikasi non verbal, meliputi
menggunakan gestur, gerak tubuh, mengungkapkan keinginan dengan ekspresi emosi
(menjerit, marah-marah, menangis).
Dengan
perkembangan komunikasi seperti telah disampaikan di atas jelaslah anak autis
akan menghadapi berbagai kesulitan untuk mengungkapkan keinginannya dan dengan
kemampuan komunikasi seperti demikian perlu adanya suatu cara yang dapat
membantu mereka untuk berkomunikasi dengan lingkungannya.
3.2.11. Bentuk
Layanan Pendidikan Anak Autisme
Pendidikan
untuk anak autistik usia sekolah bisa dilakukan di berbagai penempatan.
Berbagai model anatara lain :
(1) Kelas transmisi
Kelas ini
diperuntukkan bagi anak autistik yang telah diterapi memerlukan layanan khusus
termasuk anak autistik yang telah diterapi secara terpadu atau struktur. Kelas
transisi sedapat mungkin berada di sekolah reguler, sehingga pada saat tertentu
anak dapat bersosialisasi dengan anak lain. Kelas transisi merupakan kelas
persiapan dan pengenalan pengajaran dengan acuan kurikulum SD dengan
dimodifikasi sesuai kebutuhan anak.
(2) Prorgam pendidikan inklusi
Program ini
dilaksanakan oleh sekolah reguler yang sudah siap memberikan layanan bagi anak
autistik. Untuk dapat membuka program ini sekolah harus memenuhi persyaratan
antara lain :
(a) Guru
terkait telah siap menerima anak autistik.
(b) Tersedia ruang khusus (resourse room) untuk
penanganan individual.
(c) Tersedia
guru pembimbing khusus dan guru pendamping.
(d) Dalam satu kelas sebaiknya tidak lebih dari
2 (dua) anak autistik.
(3) Program pendidikan Terpadu
Program
Pendidikan Terpadu dilaksanakan disekolah reguler. Dalam kasus/waktu tertentu,
anak-anak autistik dilayani di kelas khusus untuk remedial atau layanan lain
yang diperlukan. Keberadaan anak autistik di kelas khusus bisa sebagian waktu
atau sepanjang hari tergantung kemampuan anak.
(4) Sekolah khusus Autis
Sekolah ini
diperuntukkan khusus bagi anak autistik terutama yang tidak memungkinkan dapat
mengikuti pendidikan di sekolah reguler. Anak di sekolah ini sangat sulit untuk
dapat berkonsentrasi dengan adanya distraksi sekeliling mereka. Pendidikan di
sekolah difokuskan pada program fungsional seperti bina diri, bakat, dan minat
yang sesuai dengan potensi mereka.
(5) Program sekolah di rumah
Program ini
diperuntukkan bagi anak autistik yang tidak mampu mengikuti pendidikan di
sekolah khusus karena keterbatasannya. Anak-anak autistik yang non verbal,
retardasi mental atau mengalami gangguan serius motorik dan auditorinya dapat
mengikuti program sekolah di rumah. Program dilaksanakan di rumah dengan mendatangkan
guru pembimbing atau terapis atas kerjasama sekolah, orangtua dan masyarakat.
(6) Panti rehabilitas autis
Anak autistik
yang kemampuannya sangat rendah, gangguannya sangat parah dapat mengikuti
program di panti (griya) rehabilitasi autistik. Program dipanti rehabilitasi
lebih terfokus pada pengembangan :
(1) Pengenalan diri.
(2) Sensori motor dan persepsi.
(3) Motorik kasar dan halus.
(4) Kemampuan berbahasa dan komunikasi.
(5) Bina diri, kemampuan sosial.
(6) Ketrampilan kerja terbatas sesuai minat,
bakat dan potensinya.
(7) Dari beberapa model layanan pendidikan di
atas yang sudah eksis di lapangan adalah Kelas transisi, sekolah khusus
autistik dan panti rehabilitasi.
3.3. Populasi
dan Sampel
3.3.1.
Pengertian populasi
Populasi adalah
seluruh data yang menjadi perhatian kita dalam suatu ruang lingkup dan waktu
yang kita tentukan. Jadi populasi berhubungan dengan data, bukan manusianya.
Kalau setiap manusia memberikan suatu data, maka banyaknya atau ukuran populasi
akan sama dengan banyaknya manusia. Populasi memiliki parameter yakni besaran
terukur yang menunjukkan ciri dan populasi itu. Diantara yang yang kita kenal
besar - besaran : rata – rata, bentengan, rata – rata simpangan, variansi,
simpangan baku sebagai parameter populasi. Parameter suatu populasi tertentu
adalah tetap nilainya itu berubah, maka berubah pula populasinya.
Pengertian
lain, menyebutkan populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang terdiri
dari manusia, benda – benda, hewan, tumbuh – tumbuhan, gejala – gejala, nilai
tes, atau peristiwa sebagai sumber data yang memiliki karakteristik tertentu di
dalam suatu penelitian (Hadari Nawawi, 1983:141). Kaitannya dengan batasan
tersebut, populasi dapat di bedakan berikut ini :
(1) Populasi
terbatas atau populasi terhingga, yakni populasi yang memiliki batas
kuantitatif secara jelas karena memiliki karakteristik yang terbatas.
(2) Populasi
tak terbatas atau populasi tak terhingga, yakni populasi yang tidak dapat
ditemukan batas – batas nya, sehingga tidak dapat dinyatakan dalam bentuk
jumlah secara kuantitatif.
Selain itu,
populasi dapat dibedakan kedalam hal berikut ini :
(1) Populasi
teoretis (theoritical population), yakni sejumlah populasi yang batas – batas
nya ditetapkan secara kualitatif.
(2) Populasi
yang tersedia (accessible population), yakni populasi yang secara kuantitatif
dapat dinyatakan dengan tegas.
Disamping itu
persoalan populasi bagi suatu penelitian harus dibedakan kedalam sifat berikut
ini :
(1) Populasi
yang bersifat homogen, yakni populasi yang unsur – unsurnya memiliki sifat yang
sama, sehingga tidak perlu dioersoalkan jumlahnya secara kuantitatif.
(2) Populasi
yang bersifat heterogen, yakni populasi yang unsur – unsurnya memiliki sifat
atau keadaan yang bervariasi, sehingga perlu ditetaokan batas – batasnya, baik
secara kualitatif mauoun secara kuantitatif.
3.3.2.
Pengertian Sampel
Sampel adalah
sebagai bagian dari populasi, masalah sampel dalam suatu penelitian timbul
disebabkan hal berikut ini :
(1) Penelitian
bermaksud mereduksi objek penelitian sebagai akibat dari besarnya jumlah
populasi, sehingga harus meneliti sebagian saja dari populasi.
(2) Penelitian
bermaksud mengadakan generalisasi dari hasil – hasil kepenelitiannya, dalam
arti mengenakan kesimpulan – kesimpulan kepada objek, gejala atau kejadian yang
lebih luas (Sutrisno Hadi, 1980:70).
Adapun alasan
– alasan penelitian dilakukan dengan mempergunakan sampel berikut :
(1) Ukuran
populasi
Dalam hal
populasi tak terbatas (tak terhingga) berupa parameter yang jumlahn ya tidak
diketahui dengan pasti, pada dasarnya bersifat konseptual. Karena itu sama
sekali tidak mungkin mengumpulkan data dari populasi seperti itu. Demikian juga
dengan populasi terbatas (terhingga).
(2) Masalah biaya
Besar kecilnya
biaya tergantung juga dari banyak sedikitnya objek yang diselidiki. Semakin
besar jumlah objek, maka semakin besar biaya yang diperlukan, lebih – lebih
bila objek itu tersebar di wilayah yang cukup luas.
(3) Masalah waktu
Penelitian
sampel selalu memerlukan waktu yang lebih sedikit daripada penelitian populasi.
Sehubungan dengan hal itu, apabila waktu yang tersedia terbatas, dan kesimpulan
diinginkan dengan segera, maka penelitian sampel, dalam hal ini lebih cepat.
(4) Percobaan yang sifatnya merusak
Banyak
penelitian yang tidak dapat dilakukan pada seluruh populasi karena dapat
merusak atau merugikan.
(5) Masalah ketelitian
Masalah
ketelitian adalah salah satu segi yang diperlukan agar kesimpulan cukup dapat
dipertanggungjawabkan. Ketelitian dalam hal ini meliputi pengumpulan,
pencatatan, dan analisis data.
(6) Masalah ekonomis
3.4.Teknik
Pengumpulan Data
Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah penelitian yang
lebih menekankan pada manfaat dan pengumpulan informasi dengan cara mendalami
fenomena yang diteliti (Moleong 2000). Menurut Poerwandari (1998), penelitian
kualitatif menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya deskriptif, seperti
transkripsi wawancara, catatan lapangan, gambar, foto, rekaman video, dan
sebagainya. Pendekatan kualitatif mencoba menerjemahkan pandangan dasar
interpretif dan fenomenologis.
Penelitian
deskriptif kualitatif berusaha menggambarkan suatu gejala sosial. Dengan kata
lain penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan sifat sesuatu yang tengah
berlangsung pada saat studi. Metode kualitatif ini memberikan informasi yang
lengkap sehingga bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan serta lebih
banyak dapat diterapkan pada berbagai masalah. Metode penyelidikan deskriptif
tertuju pada pemecahan masalah yang ada pada masa sekarang. Metode ini
menuturkan, menganalisa, dan mengklasifikasi ; menyelidiki dengan teknik
survey, interview, angket, observasi, atau dengan teknik test ; studi kasus,
studi komperatif, studi waktu dan gerak, analisa kuantitatif, studi kooperatif
atau operasional. Bisa disimpulkan bahwa metode deskriptif ini ialah metode
yang menuturkan dan menafsirkan data yang ada, misalnya tentang situasi yang
dialami, satu hubungan, kegiatan, pandangan, sikap yang menampak, atau tentang
satu proses yang sedang berlangsung, pengaruh yang sedang bekerja, kelainan
yang sedang muncul, kecenderungan yang menampak, pertentangan yang meruncing,
dan sebagainya.
Pelaksanaan
metode-metode deskriptif tidak terbatas hanya sampai pada pengumpulan dan
penyusunan data, tetapi meliputi analisa dan interpretasi tentang arti data
itu. Karena itulah maka dapat terjadi sebuah penyelidikan deskriptif,
membandingkan persamaan dan perbedaan fenomena tertentu lalu mengambil bentuk studi
komperatif ; atau mengukur sesuatu dimensi seperti dalam berbagai bentuk studi
kuantitatif, angket, test, interview, dan lain-lain. Ciri-ciri metode
deskriptif itu sendiri adalah memusatkan diri pada pemecahan masalah-masalah
yang ada pada masa sekarang, pada masalah-masalah yang aktual, kemudian data
yang dikumpulkan mula-mula disusun, dijelaskan, dan kemudian dianalisa (karena
itu metode ini sering pula disebut metode analitik). Sifat-sifat lainnya adalah
sama seperti pada setiap metode penyelidikan secara umum.
3.4.1. Tekhnik observasi
Observasi
diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan sistematik terhadap gejala yang
tampak pada objek penelitian. Pengamatan dan pencatatan yang dilakukan terhadap
objek ditempat terjadi atau berlangsungnyaperistiwa, sehingga observasi berada
bersama objek yang diselidiki, disebut observasi langsung. Sedang observasi
tidak langsung adalah pengamatan yang dilakukan tidak pada saat berlangsungnya
suatu peristiwa yang akan diselidiki.
Pedoman
observasi berupa pengamatan yang dilakukan terhadap proses belajar pada objek
penelitian. Tujunnya mengamati penggunaan pengembangan pembelajaran disekolah.
Dalam penelitian ini terdapat hasil penelitian yang termasuk kedalam pedoman
penelitian (evaluasi) yaitu pedoman evaluasi yang berupa pengamatan
perkembangan yang terjadi pada siswa autis, pada setiap pertemuan untuk melihat
perkembangan yang ada.
3.4.2. wawancara
wawancara
adalah cara mengumpulkan data melalui kontak atau hubungan pribadi antara
pengumpul data dengan sumber data. Wawancara dilakukan terhadap guru, orang tua
anak autis yaitu dengan cara memberikan pertanyaan – pertanyaan. Peneliti
membuat pedoman wawancara yang berisi informasi yang dapat dijadikan sebagai
data. Adapun wawancara dilakukan untuk memperoleh informasi yang diperlukan
oleh peneliti mengenai pendapat dan situasi subjek peneliti dalam berbagai hal.
Wawancara
terhadap Guru SLB :
(1) Bagaimana gambaran motivasi subjek menjadi
guru di SLB ?
(2) Faktor – faktor apa yang menyebabkan
timbulnya motivasi untuk menjadi guru SLB ?
(3) Bagaimana cara memotivasi diri menjadi guru
di SLB ?
(4) Apak tugas menjadi guru SLB berat ?
(5) Bagaimana proses belajar mengajar di SLB ?
(6) Bagaimana menangani siswa penyandang autisme
dan bagaimana model pembelajarannya ?
Wawancara
terhadap orangtua yang memiliki anak autis :
(1) Bagaimana tanggapan ibu ketika merasa
memiliki anak autis ?
(2) Apakah ada kendala yang dihadapi dalam mengatasi
anak autis ?
(3) Bagaimana kemampuan anak dalam berkomunikasi
dan bermain di rumah ?
(4) Pembelajaran apa yang bisa diterapkan dirumah
?
(5) Bagaimana sikap anggota keluarga dalam
menerima anak autis ?
(6) Bagaimana sikap lingkungan sekitar dalam
menerima anak autis ?
3.5.Instrumen
Penelitian
Instrumen
sebagai alat pengumpul data harus betul – betul dirancang dan dibuat sedemikian
rupa sehingga menghasilkan data empiris sebagaimana adanya. Instrument
penelitian diperlukan dalam suatu penelitian karena pada prinsipnya meneliti
adalah melekukan pengukuran, kmaka harus ada alat pengukuran yang baik. Alat
ukur dalam penelitian dinamakan instrument penelitian. Jadi instrument
penelitian adalah alat yang digunakan untuk mengukur fenomrna alam dan sosial
yang diamati. Pada peelitian kali ini yang dijadikan tolak ukur adalah pola
komunikasi anak autis selama pembelajaran disekolah maupun di luar sekolah.
Selama pembelajaran dilakukan peneliti mengamati pola komunikasi anak autis.
Peneliti menggunakan instrumen lembar observasi dan wawancara.
3.6.Tekhnik
Pengolahan Data
Kegiatan
pengolahan data sebagai berikut :
(1) Pengklasifikasikan data
yaitu
menggolongkan aneka – ragam jawaban itu ke dalam kategori – kategori yang
jumlahnya lebih lebih terbatas.
(2) Kooding
yaitu usaha
mengklasifikasikan jawaban – jawaban responden dengan jalan menandai masing –
masing kode tertentu.
(3) Tabulasi
yaitu usaha
penyajian data, terutama pengolahan data yang akan menjurus ke analisis
kualitatif.
3.7.Lokasi
Penelitian
Lokasi yang
digunakan sebagai tempat penelitian ini adalah
SLB PKK Sukarame Bandar Lampung. SLB ini merupakan sekolah luar biasa
yang menerima dan membimbing siswa berkebutuhan khusus yang salah satunya
adalah anak autis.
3.8.Jadwal
Jadwal
penelitian ini dimuli dari bulan oktober 2013 – desember 2013.
like
ReplyDeleteBOLEH SAYA MENCOPY PUNYA KAMU SEBAGAI GAMBARAN AJA...SEMOGA BERMANFAAT
ReplyDelete